Minggu, 16 September 2012

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai


 

 


Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.

Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.

Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.

Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.



PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi.

PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung
Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh, dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.

Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta mendukung target penerimaan pajak demi kelangsungan pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara. Bangga bayar Pajak!

(adv/adv)

Senin, 10 September 2012

Fatwa Terbaru Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi tentang Syiah

PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SUNNI DENGAN
MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
(diterjemahkan oleh ust Dudung Ramdani, Lc) 
Pertanyaan:
Yang terhormat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi -hafidhahullah-
Saya bermaksud mengajukan sebuah pertanyaan kepada Anda, semoga Anda bisa menjawabnya dengan terusterang yang bisa melegakan dada dan menghilangkan keraguan.
Kami di Mesir tidak mengenal madzhab yang lain kecuali madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah yang terdiri dari empat madzhab yang sudah dikenal yang dipimpin oleh para imam. Di antaranya oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad. Penduduk Mesir menganut tiga madzhab yang pertama. Madzhab Malik di daerah Sha’id dan sebagian kota yang ada di pinggir laut Merah, dan madzhab Syafi’ie dianut oleh sebagian besar penduduk pinggiran laut Merah, dan madzhab Hanafi hanya dianut oleh beberapa orang tertentu saja yang diwarisi dari zaman kekhalifahan Utsmaniyah.
               Kami sama sekali tidak kenal yang namanya Syi’ah sedikit pun. Hal ini dikarenakan kami tidak pernah bersinggungan dengan mereka. Setahu saya, di Mesir tidak pernah ditemukan ada orang Syi’ah walaupun hanya seorang. Yang kami tahu bahwa mereka itu hanya orang-orang yang berlebihan di dalam mencintai dan fanatik terhadap Ahlul Bait. Sedangkan kami warga Mesir sebagaimana yang engkau ketahui cinta juga terhadap Ahlul Bait. Sebab kami memiliki beberapa situs Ahlul Bait yang biasa dikunjungi dan ada beberapa perayaan yang sering dirayakan. Misalnya terhadap Al-Husain, Zainab di Kairo, Ahmad Al-Badawi di Tanta dan yang lainnya.
               Belum pernah sama sekali ada para ulama dari kalangan Ahlu Sunnah yang memuji Syi’ah ataupun mencelanya. Oleh karena itu, seluruh rakyat Mesir bersikap masa bodoh terhadap Syi’ah ini, baik dari sisi akidahnya maupun pemikiran-pemikirannya. Sampai kami dikagetkan di akhir-akhir tahun ini bahwa sebagian warga Mesir sudah ada yang meninggalkan madzhab Sunninya dan kemudian mereka beralih menjadi pengikut madzhab Syi’ah. Sebagian mereka ada yang giat menulis di koran-koran, ada juga yang menyebarkan selebaran, ada juga yang menulis buku yang berisi pandangan-pandangan miring terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah yang ujungnya mengajak masuk ke dalam madzhab Syi’ah. Setahu kami bahwa madzhab Syi’ah ini berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah yang kami fahami. Setelah beberapa kali pertemuan, kami tahu dari orang-orang yang berkata bahwa orang-orang itu (antek Syi’ah) bekerja karena bantuan finansial dari Iran. Mereka selalu menyerang Ahlu Sunnah, baik dahulu maupun sekarang. Sehingga hal ini membuat kami bingung, karena kami tidak mempunyai basic pengetahuan untuk membela pada saat orang-orang Syi’ah sangat terlatih di dalam menyebarkan berbagai macam tuduhan dan merubah-rubah perkataan dan bahkan mereka menciptakan kebohongan-kebohongan. Semua ini dilakukan dalam rangka perang terhadap Ahlu Sunnah yang masih disibukkan dengan urusan diri dan perutnya dan perpecahan internal yang terjadi.
               Apakah memang ada perbedaan yang mendasar antara Sunni dan Syi’ah? Apa bentuk perbedaan ini? Bagaimana sikap Syi’ah yang sebenarnya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat? Dan bagaimana kedudukan imam yang 12 orang itu?
               Mengapa para ulama Ahlu Sunnah membiarkan kami tanpa dibekali pengetahuan walaupun hanya sekelumit, yang wajib diketahui oleh seorang Sunni tentang Syi’ah?
               Saya yakin bahwa para ulama mempunyai tanggung jawab yang besar di hadapan Allah SWT dan di hadapan umat. Demikian juga Anda, Anda mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, sebab umat sudah percaya dengan ilmu Anda, dan percaya dengan seluruh nasihat Anda, keberanian dan semangat Anda terhadap agama Islam ini.
               Saya mohon, – demikian juga seluruh teman-teman saya – mendapatkan penjelasan yang sangat jelas atas masalah ini. Sehingga semuanya jelas, hati menjadi tenang dan Allah SWT akan memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
               Harapan kami, semoga Anda tidak menyepelekan masalah ini atau terlambat menjawabnya.
               Semoga Allah SWT melindungi Anda, juga membimbing langkah Anda.
Dr. Abdullah Salim (Dosen perguruan tinggi)
Jawaban:
Segala puji bagi Allah SWT, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya dan juga kepada seluruh umatnya yang mengikuti petunjuknya. Amma ba’du, 
Sungguh, saudara telah mengupas dengan tegas di dalam surat ini, yaitu tentang luka yang kami diamkan sejak lama dan kami baru berusaha untuk membalutnya dengan perban agar darah luka itu berhenti mengalir. Atau kami baru berusaha untuk memberi obat pereda sakit yang tidak akan membasmi bakteri ke akar-akarnya. Sejak lama pula, kami telah mewanti-wanti untuk tidak membahas topik ini untuk menghindari perpecahan golongan atau membangunkan fitnah yang sedang tertidur. Kami sengaja membiarkan saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah agar lalai, tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang hal ini. Padahal di sisi lain, ada kader-kader yang sedang disiapkan dan dilatih untuk menyebarkan madzhab Syi’ah di kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ada kesempatan, dengan cepat para kader Syi’ah ini langsung memanfaatkannya. Mereka pun menebarkan jaring-jaringnya dari atas kuda mereka. Ada saja orang yang terperangkap ke dalam jaring mereka ini! Memang benar jika mereka itu (orang-orang Syi’ah) jumlahnya hanya sedikit. Akan tetapi jumlah yang sedikit bisa menjadi banyak jika terbuka kesempatan dan sebab-sebab ke arah sana (bertambah pengikut) masih ada. Tanggung jawab pertama ada di tangan kami sebagai para ulama Ahlu Sunnah yang mana kami telah berjanji di hadapan Allah SWT bahwa kami akan senantiasa menjelaskan kebenaran dan tidak akan menyembunyikannya.
Kewajiban ini menjadi kuat ketika bahaya sudah menjadi-jadi di hadapan kita dalam bentuk jaringan terorganisir yang dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai semangat tinggi, bukan hanya sekedar pegawai biasa. Tangan mereka membawa bermilyar-milyar dolar untuk memuluskan tujuan ini dan di belakang mereka ada negara ideologis, kuat dan makmur yang membiayainya.
               Saya telah mengikuti berbagai seminar pendekatan antara Sunni dan Syi’ah di Rabbat-Maroko, Bahrain, Damaskus dan Doha. Saya juga pernah berkunjung ke Iran dan bertemu dengan presiden Iran, seorang cendikiawan bernama DR. Muhammad Khatami. Saya juga telah bertemu dengan banyak Mullah dan Ayatullah di beberapa kota di Iran. Pada semua kesempatan ini, saya selalu menekankan kepada mereka beberapa perkara penting, di antaranya:
  1. Pernyataan tegas dari pihak Syi’ah bahwa Al-Qur`an itu (sebagaimana yang tertera di mushaf kaum muslimin saat ini) adalah firman Allah SWT yang diturunkan (untuk manusia). Al-Qur`an ini terpelihara, tidak ada pengurangan dan tidak ada penambahan sedikitpun. Tidak ada hal-hal rancu di dalamnya.
  2. Berhenti mencela para sahabat. Karena para sahabat lah yang telah menukil Al-Qur`an untuk kita, meriwayatkan As-Sunnah, melakukan penaklukan damai dan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji mereka.
  3. Berhenti melakukan penyebaran sebuah madzhab di sebuah negara yang dihuni pemeluk madzhab tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dari Libanon, ”Berhenti menyebarkan faham sebuah madzhab di negara bermadzhab lain”.
  4. Mengakui hak-hak minoritas, baik Sunni maupun Syi’ah.
Walaupun saudara-saudara kami dari Syi’ah membenarkan ucapan saya ini secara teori, akan tetapi mereka tidak menepati janji mereka dalam prakteknya. Khususnya poin nomor 3, yaitu berhenti melakukan penyebaran madzhab Syi’ah di negeri-negeri Sunni. Kami melihat mereka bersikap masa bodoh. Mereka menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah di bidang politik dan militer. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat propaganda.
Dahulu Mesir merupakan negara yang seratus persen dihuni oleh Ahlu Sunnah. Demikian juga dengan Sudan, Libya, Al-jazair, Tunis, Maroko, dan Mauritania. Tidak ada Syi’ah di sana walaupun hanya seorang, meski dahulunya Mesir dan Afrika Utara dikuasai oleh Daulah Bani Fathimiyah (Daulah Syi’ah). Akan tetapi hal ini tidak membuat rakyat Mesir menjadi penganut Syi’ah walaupun ada banyak iming-iming materi yang ditawarkan kepada rakyat Mesir. Pada saat itu, di Mesir ada slogan seperti ini, ”Barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan menerima satu dinar dan kacang!” Maksudnya barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan mendapatkan satu Dinar uang emas dan hadiah kacang-kacangan atau gandum (sembako).
Pada saat Shalahuddin Al-Ayyubi berkuasa di Mesir, penganut madzhab Sunni di Mesir adalah 100 %. Pada saat itu, Al-Azhar menjadi mercusuar madzhab Sunni sampai beberapa abad lamanya. Sampai akhir tahun-tahun yang penuh ujian ini, orang-orang dikagetkan – sebagaimana yang dikatakan oleh penanya-, ada orang yang terang-terangan mengaku sebagai Syi’ah dan mendakwahkannya! Tentu, masalah ini perlu diklarifikasi dan inilah saatnya dan jangan sampai terlambat. Pada saat inilah saya berkewajiban menjawab pertanyaan saudara penanya.
Apakah ada perbedaan yang mendasar antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah? Apa saja bentuknya?
Kami jawab: Kami melihat bahwa ada dari sebagian orang-orang Syi’ah yang tidak mempunyai perbedaan yang mendasar dengan kami (Ahlu Sunnah). Baik dalam masalah ushul maupun di dalam masalah furu’. Contohnya adalah Syi’ah Zaidiyyah yang tersebar di Yaman. Mereka mengakui kitab-kitab Ahlu Sunnah seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Kutubus Sittah (Kitab 6 Imam) yang lainnya, juga Al-Muwaththa, Musnad Imam Ahmad dan seluruh para pengarang kitab hadits. Sebagian kitab-kitab Syi’ah Zaidiyah sama dengan kitab-kitab Ahlu Sunnah, baik di dalam hal sumber maupun isinya. Contohnya kitab Ar-Raudhu An-Nadhir yang menjelaskan seluruh hadits kumpulan Imam Zaid bin Ali RA. Tapi terdapat pula perbedaan di dalam cabang-cabang akidah, seperti perbedaan yang terdapat antara Ahlu Sunnah dengan Mu’tazilah. Akan tetapi Syi’ah Zaidiyyah tidak pernah mencela para sahabat dan juga mereka meyakini bahwa Al-Qur`an tidak terjadi pengurangan maupun penambahan dan lain-lainnya.
Perbedaan yang dimaksud di dalam pembahasan kali ini adalah perbedaan antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah. Karena mereka itulah, ada sebuah pertanyaan yang menuntut agar dibedakan antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah. Jawabannya, sudah jelas dan gamblang.
Di dalam masalah fiqih dan furu, secara praktis tidak ada perbedaan mencolok antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah atau Ja’fariyah. Perbedaan fiqih kita dengan mereka sama halnya dengan perbedaan antara madzhab-madzhab yang ada di kalangan Ahlu Sunnah. Kita lihat Imam Asy-Syaukani menyebutkan madzhab Ahlul Bait di dalam kitabnya Nailul Authar. Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari kalangan Sunni yang keberatan atas hal ini. Karena tidak ada perbedaan yang mendasar di antara madzhab-madzhab tersebut.
Akan tetapi, secara fiqih ada beberapa bentuk amaliyah munkarah (perbuatan munkar) yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Misalnya masalah ucapan tasyahud di dalam adzan yang ditambah menjadi 3, dengan ucapan, ”Aku bersaksi bahwa Ali Wali Allah!” benar para ulama Syi’ah telah sepakat bahwa penambahan ini tidak ada dasarnya di dalam ajaran (fiqih) mereka. Akan tetapi hal ini dibiarkan saja karena mereka takut orang-orang awam akan marah besar!
Sesungguhnya perbedaan yang mendasar di antara kedua madzhab ini (Sunni dan Syi’ah) adalah perbedaan di dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh karena itu, sebutan untuk perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua golongan, yaitu Ahlu Sunnah di satu sisi dan Syi’ah di sisi yang lainnya. Perbedaan ini bukan di antara dua madzhab fiqih.
Sikap Ahlu Sunnah terhadap firqah Syi’ah terbagi ke dalam tiga golongan.
1. Golongan Sunni yang Mengkafirkan Syi’ah  
Kelompok pertama yaitu orang-orang yang mengafirkan Syi’ah dan menganggap mereka telah murtad dari Islam. Inilah pendapat orang-orang salafi secara umum. Apalagi kelompok salafi yang berlebihan, bukan hanya mengkafirkan Syi’ah tapi juga mengkafirkan kelompok Ahlus Sunnah lainnya yang fahamnya berseberangan dengan mereka atau orang-orang yang biasa melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bisa ditakwilkan.
Di antara penulis yang menuliskan masalah ini secara ilmiah yaitu buku yang ditulis oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib, seorang ahli sejarah dan pentahqiq senior yang juga direktur Majalah Al-Fath dan Majalah Az-Zahra yang mengusung tema pemurnian Islam di zamannya. Beliau juga adalah pimred harian Al-Ikhwan Al-Muslimun dan majalah Al-Azhar untuk beberapa periode.
Ustadz Al-Khathib telah menulis bukun berjudul, “Al-Khuthuth Al-’Aridhah allati Qama ’Alayha Din Al-Syi’ah” (Dasar-dasar yang Dipegang oleh Agama Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah). Buku ini mengupas permasalahan yang sangat penting tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap Al-Qur`an bahwa Al-Qur`an telah dirubah-rubah dan dikurang-kurangi. Penulis Syi’ah yang menulis buku tentang perubahan di dalam Al-Qur`an adalah Fashlu Al-Khithab fi Itsbati Tahrif Kitabi Rabbil Arbab (yang dimaksud dengan kitab adalah Al-Qur`an) karya An-Nuri Ath-Thabrasi yang kematiannya selalu diperingati secara meriah oleh orang-orang Syi’ah dan dikuburkan di dekat kuburan Imam Ali RA.
Beliau menjelaskan tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap As-Sunnah dan terhadap para sahabat, ajaran Taqiyyah dan beberapa hal lainnya. Singkat kata, madzhab Syi’ah ini mempunyai perbedaan yang sangat jauh dengan madzhab Ahlu Sunnah.
Ustadz Muhibbuddin Al-Khathib juga menulis beberapa buku dan artikel yang berisi pembelaan terhadap para sahabat. Seperti buku yang berisi resensi dan catatan penting beliau terhadap buku yang ditulis oleh Abu Bakar bin Al-Araby tentang para sahabat yang berjudul, Al-‘Awashim min Al-Qawashim. Buku lainnya yaitu tentang catatan beliau terhadap buku Al-Muntaqa dari kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi. Beliau juga menulis buku dengan judul, Bersama Generasi Pertama. Buku ini berisi penjelasan dan pembelaan tentang kedudukan para sahabat di dalam Islam, jihad serta upaya mereka di dalam membela sang Penutup para nabi.
Beberapa saat setelah itu, muncullah buku ulama Pakistan yang sangat terkenal, yaitu Ihsan Ilahi Zhahir yang memperluas pembahasan buku Al-Khathib tersebut. Beliau berargumentasi dengan buku-buku Syi’ah sendiri, juga melakukan pembantahan terhadap tuduhan-tuduhan Syi’ah. Sampai akhirnya beliau syahid ditembak di salah satu pertemuan yang beliau hadiri. Orang-orang Syi’ah lah yang berada di balik aksi penembakan beliau ini.
Saya berpendapat bahwa di dalam masalah ini terdapat sikap berlebihan menghukumi orang-orang Syi’ah secara umum. Terutama mengenai masalah pengkafiran-pengkafiran yang mencap orang lain telah murtad dari Islam- adalah masalah yang sangat berbahaya. Sejak lama, saya telah menulis sebuah buku dengan judul, “Zhahirat Al-Ghuluww fi At-Takfir” Sikap Berlebihan di Dalam Mengafirkan Orang Lain. Saya melihat bahwa yang harus dilakukan di dalam masalah ini adalah bersikap hati-hati, melakukan penelitian terlebih dahulu dan bermusyawarah sebelum mencap orang lain dengan cap kafir. Bagaimana pula halnya dengan mengafirkan sebuah jamaah (perkumpulan seperti Syi’ah) yang terdiri dari puluhan juta orang?!
Selagi ada celah untuk perkataan atau perbuatan itu ditakwil yang bisa mengeluarkan musuhnya dari kekafiran, maka seyogyanya seorang alim menempuh hal itu. Sebab tidak boleh mengkafirkan orang lain kecuali dengan indicator pasti yang tidak bisa ditafsirkan kecuali dengan mencapnya sebagai orang kafir, seperti telah mengucapkan sesuatu atau melakukan perbuatan kufur yang nyata. Kami berpendapat bahwa sikap moderat adalah, ”Sesungguhnya mereka mengafirkan orang secara umum dan tidak mengafirkan orang per orang (tertentu saja) kecuali dengan banyak syarat.”
Pada bagian buku saya ini terdapat pembahasan tentang fatwa takfir dan syarat-syaratnya. Fatwa ini adalah fatwa saya yang lama. Silahkan dikaji kembali.
Memang ada hadits tentang perpecahan umat Islam sehingga terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Namun hadis itu masih tetap menggolongkan firqah-firqah yang sesat dan celaka itu sebagai bagian umat Islam ini, dan tidak mengeluarkan mereka darinya, ketika beliau bersabda, ”UMMATKU akan terpecah belah!”
Saya juga ingin mengatakan, sesungguhnya dari kalangan orang-orang Syi’ah ada yang ekstrim dan suka mengkafirkan Ahlu Sunnah. Kami telah menukil sebagian perkataan mereka itu di beberapa forum. Bahkan di antara mereka ada yang berani mengafirkan para sahabat. Ada juga yang berani mengafirkan umat Islam seluruhnya, kecuali yang tidak kafir hanya Syi’ah, seperti yang tercantum di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah karya Syaikh Nikmatullah Al-Musawi Al-Jazairi.
2. Orang-orang Sunni yang Melihat Syi’ah dari Sisi Politik Semata
               Kelompok kedua adalah kebalikan dari kelompok pertama yang suka mengafirkan Syi’ah. Kelompok ini tidak pernah melihat Syi’ah dari sisi akidah dan pokok-pokok ajaran mereka yang bertentangan dengan akidah mayoritas umat Islam. Mereka ini tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ajaran atau keyakinan mereka terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat. Mereka juga tidak mau memperhatikan Syi’ah dari sisi ucapan mereka yang mengatakan bahwa para Imam mereka adalah orang-orang maksum, mengetahui hal gaib yang tidak diketahui oleh para nabi dan ucapan mereka bahwa Imamah adalah pokok ajaran Syi’ah yang barangsiapa menolaknya, maka dia dicap kafir. Kelompok ini juga tidak memperhatikan Syi’ah dalam hal tingkah laku mereka yang menyimpang. Misalnya peristiwa peringatan wafatnya Al-Husain RA setiap tahunnya dengan cara menampar pipi, merobek-robek kantong baju, juga memukul dada dan punggung sampai berdarah-darah. Ritual ini terus diamalkan sampai lebih dari tiga belas abad lamanya. Mereka juga beriman bahwasanya Al-Mahdi itu ada dan sekarang sedang bersembunyi di Sirdab dan belum keluar dari persembunyiannya sejak 11 abad yang lalu. Keyakinan semacam ini jelas menyalahi sunnatullah pada usia manusia.
               Kelompok Sunni ini tidak menghiraukan semua akidah Syi’ah yang batil ini. Kelompok ini hanya melihat sisi politiknya saja sebagai buah dari Revolusi Imam Khumaeni. Di antara yang menonjol adalah Iran berani menantang Amerika Serikat dan anak emasnya Israel. Hal ini dibuktikan dengan adanya kelompok pejuang Hizbullah (Syi’ah) di Libanon yang perang melawan Israel pada musim panas tahun 2006 M.
               Oleh sebab itulah, kita harus diam saja dan jangan membicarakan madzhab mereka (Syi’ah) dan akidah mereka. Juga strategi mereka untuk menumpas masyarakat Sunni dengan persiapan dana jutaan bahkan milyaran dollar Amerika yang ditunjang dengan orang-orang yang sudah terlatih dan siap berperang, pada saat Ahlu Sunnah tidak memiliki pertahanan sedikit pun. Realita ini persis dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh saudara penanya, ”Sesungguhnya para ulama Ahlu Sunnah tidak membekali ilmu yang memadai untuk membendung Syi’ah dan mereka membiarkan dada para pengikut Ahlu Sunnah terbuka sehingga menjadi sasaran empuk anak panah dari kanan maupun dari kiri.”
               Saya melihat di sini bahwa kita harus bisa membedakan mana siasat politik mereka dan mana ajaran atau akidah mereka. Kita hanya mendukung dari sisi politik mereka melawan Amerika dan Israel. Kita juga hanya mendukung Iran dari sisi pengembangan nuklir dan kita akan menolak segala bentuk intervensi  atas hak mereka di dalam pengembangan reaktor nuklir. Kita juga berdiri dengan segala kekuatan kita untuk melawan Amerika jika mereka melakukan serangan militer terhadap Iran. Inilah yang saya terangkan dengan sangat jelas, alhamdulillah. Saya katakan, ”Kita akan melawan Amerika jika Iran diserang!” Ucapan saya ini telah disiarkan oleh stasiun tv milik Iran. Mereka memuji saya dalam hal ini dan mengucapkan ucapan terimakasihnya melalui telepon. Perlu dicata, saya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang saya anggap sebagai kebenaran!
               Saya pun mendukung tentara Hizbulloh pada saat mereka perang melawan Israel. Saya juga telah membantah fatwa salah satu ulama senior Saudi yaitu Syaikh Jibrin di dalam program TV Aljazeera yang bertajuk “Syariah dan Kehidupan”. Di dalam buku ini pun ada fatwa mengenai masalah ini.
               Yang jelas,  resistensi kita terhadap ajaran Syi’ah tetap ada, dan sikap kita tidak berubah terhadap pokok-pokok ajaran mereka. Demikian pula sikap saya tetap tegas menolak segala bentuk penyebaran ajaran Syi’ah ke tengah-tengah Ahlu Sunnah!
3. Kelompok Pertengahan
Di antara kedua kelompok yang telah disebutkan, ternyata ada satu kelompok yang moderat. Kelompok ini hanya berseberangan dengan Syi’ah dari sisi keyakinan dan pokok-pokok ajaran mereka dan juga tingkah laku serta slogan ciri khas mereka. Misalnya ada tiga syahadat di dalam adzan mereka atau peringatan wafatnya Husein di hari Asyuro setiap tahunnya. Padahal yang diajarkan di dalam As-Sunnah bahwa kita tidak boleh bertakziyah setelah tiga hari sejak wafatnya seseorang. Akan tetapi kelompok ini tidak sampai mengkafirkan Syi’ah dengan kufur yang nyata dan besar, kecuali untuk beberapa hal yang tidak bisa ditakwil dan dihukumi kafir untuk pelakunya.
Posisi kita adalah bergabung dengan kelompok yang tidak mengkafirkan Syi’ah ini secara mutlak. Namun, kelompok pertengahan ini berbeda pandangan secara tajam dengan Syi’ah di beberapa masalah utama, di antaranya:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al-Qur`an.
               Sikap mereka terhadap Al-Qur`an seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al-Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur`an adalah firman Allah SWT. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al-Qur`an ini dihafal oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di sana. Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al-Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
               Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak mengafirkan orang yang telah mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan pengurangan terhadap Al-Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia sebagai orang kafir!
               Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al-Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al-Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan lalu didistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As-Sunnah         
               Definisi As-Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah SAW yang telah dimaksum oleh Allah SWT dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
               Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An-Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,” (QS An-Nur [24]: 56). “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS An-Nisa [04]: 59). “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An-Nisa [04]: 80). “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
               Akan tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya, sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Mereka telah menambahkan perintah Al-Qur`an untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah SWT sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.
               Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
               Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah SAW telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah SAW yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali RA –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini. Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah SAW?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al-Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah SAW, tapi mengapa justru Al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini kepada Muawiyah? Mengapa Al-Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan perintah dari Allah SWT? Dan mengapa justru Rasulullah SAW di dalam haditsnya (hadits ramalan Rasulullah SAW) memuji sikap Al-Hasan ini?
               Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka!
               Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah SWT sebutkan di dalam beberapa surat Al-Qur`an. Seperti di akhir surat Al-Anfal, surat At-Taubah, surat Al-Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al-Hasyr dan surat-surat lainnya.
               Demikian pula As-Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah SAW.
               Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al-Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil As-Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.
               Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah SWT dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.
4. Imamah Ali dan keturunannya yang berjumlah 12 imam merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak, maka dia dicap kafir.
               Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al-Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
               Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya.
               Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali RA. Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah SAW.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa dia mempunyai nas wasiat dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
               Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
               Syaikh Muhammad ‘Arfah seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al-Azhar pada zamannya telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata,
”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah SAW wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babwaih Al-Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu adalah pengarang kitab yang berjudul, Man La Yahdhuruhul Faqih, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi mereka menolak Nabi Muhammad SAW.”  Dia juga berkata di dalam Risalat Al-I’tiqadat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah SAW), artinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah Allah SWT.”
               Rasulullah SAW telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya  kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
               Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
               Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al-Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, ”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali
               Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai ciri khas kaum muslimin, ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy-Syura [42]: 38).
               Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah SWT harus menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan menakhodai umat ini.
               Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”
               Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin Allah SWT akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk membimbing kami!” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia 
               Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah SWT.  Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan langit.
               Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam AS. Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
               Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah SWT berfirman, ”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,” (QS Al-Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al-Mizan yang tidak akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan melanggar batasan-batasan Allah SWT dan hak-hak manusia.
               Hanya Rasulullah SAW saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al-An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.
               Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al-Qur`an/As-Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang fiqih, seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far Ash-Shadiq seperti imam-imam fiqih lainnya.
7.  Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
               Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf Al-Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama Syi’ah.
               Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini! Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah    
               Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman terjadinya futuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam sebagai figur  untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.
               Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku dengan judul, Sejarah Kita yang Diselewengkan. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata, ”Yusuf Al-Qardhawi ini wakil Allah SWT atau wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
               Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi (bermuamalah) dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.
               Mereka berdalih dengan firman Allah SWT, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman Allah SWT, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An-Nahl [16]: 106).
               Pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
               Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash-Shadiq bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, ”Allah SWT telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”  [3]
Pendapat para ulama senior Al-Azhar tentang Syi’ah
               Pada kesempatan kali ini saya ingin mengatakan bahwa semua penjelasan saya tentang Syi’ah ini bukan semata-mata pendapat saya sendiri. Akan tetapi merupakan pendapat para ulama senior Al-Azhar terhadap Syi’ah. Seperti Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan Mufti Mesir), Syaikh Muhammad ‘Arfah (anggota Lembaga Ulama Senior dan mantan ketua divisi Bimbingan dan Penerangan), Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq (mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Syaikh Athiyah Shaqer (ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir (Wakil Syaikh Al-Azhar dan mantan Menteri Waqaf Mesir).
               Akan tetapi karena keterbatasan tempat, tidak memungkinkan bagi saya untuk menyebutkan seluruh perkataan para ulama senior tersebut yang berkompeten di dalam masalah ilmu dan memiliki peranan di dalam melakukan perbaikan di dalam hidup mereka. Tidak pernah ada tuduhan yang diarahkan kepada mereka, baik tuduhan fanatisme maupun tuduhan konservatif (tertutup).
               Syaikh Makhluf telah menyebutkan macam-macam Syi’ah. Di antaranya: Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah yang berkeyakinan bahwa Rasulullah SAW telah membuat wasiat bahwa Ali harus menjadi khalifah setelah beliau wafat. Karena Ali adalah ahli waris beliau. Kelompok Syi’ah ini berani mencela para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar. Bahkan mereka juga berani mengafirkan para sahabat. Mereka juga berkeyakinan bahwa imamah itu hanya terbatas kepada imam mereka yang berjumlah dua belas orang yang mereka yakini kemaksumannya dan mereka meyakini Imam Mahdi akan muncul ke dunia ini, dsb.
               Syaikh Makhluf berkata, ”Ajaran Islam tidak pernah mengajarkan keyakinan seperti ini, baik secara global maupun secara terperinci. Tidak ada orang yang maksum selain para nabi dan rasul. Juga tidak ada ajaran yang menyatakan bahwa imamah itu hanya terbatas di Ahlul Bait atau hanya terbatas dua belas imam saja. Juga Rasulullah SAW tidak pernah memberikan wasiat kepada Ali, baik dengan nash yang terang maupun samar. Islam juga tidak mengenal istilah Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu yang diyakini oleh Syi’ah sedang bersembunyi dan masih hidup di bumi sampai sekarang yang akan muncul di akhir zaman. Juga tidak boleh mengkultuskan orang lain selain para rasul. Juga tidak ada keterangan yang memerintahkan untuk pergi berziarah ke Karbala dan Najaf, dan memuliakan kedua kota tersebut. Juga tidak ada perintahnya untuk menjadikan hari Asyuro sebagai hari berkabung. Justru yang ada adalah perintah untuk shaum di hari Asyuro.”
               Inilah perkataan Syaikh Makhluf yang didukung oleh perkataan para ulama senior yang lainnya. Hal ini seperti yang telah dinukil oleh Dr. Muhammad Yusri di dalam bukunya yang berisi kumpulan fatwa-fatwa ini dengan judul, Himpunan Fatwa Ulama Senior Al-Azhar tentang Syi’ah dan Sekte-sektenya. Buku ini diedit oleh dua orang profesor Al-Azhar yaitu Muhammad Al-Khasyu’i dan ‘Abdul Aziz Quraisyi. Buku ini adalah kumpulan fatwa ilmiyah yang lengkap dengan kutipan dari referensi kitab-kitab Syi’ah dan bukan dari kitab musuh-musuh Syi’ah. Pesan saya kepada saudara saya sesama muslim jika Anda ingin mencari kebenaran, saya persilahkan untuk membaca buku himpunan fatwa ulama tersebut.
               Akan tetapi dari buku ini, saya hanya akan mengutipkan perkataan Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir. Beliau adalah seorang tokoh yang sudah terkenal akan keterbukaan beliau terhadap dunia ini. Beliau telah banyak melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam di seluruh dunia. Beliau juga pernah menjadi perwakilan (utusan) Al-Azhar di India. Di sana, beliau menulis buku tentang sejarah Islam di India. Beliau juga merupakan Pimpinan Redaksi Majalah Al-Wa’ie Al-Islami di Kuwait. Beliau juga mengeluarkan pandangan-pandangan dan tulisan-tulisannya yang terbaru (up to date), sehingga beliau tidak pernah dituduh sebagai ulama jumud atau fanatik.
Pendapat Dr. Abdul Mun’im An-Namir, mantan Menteri Waqaf Mesir tentang Syi’ah    
               Beliau telah mencantumkan di dalam bukunya yang berjudul, Syi’ah dan Al-Mahdi yang berisi dialog beliau dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri, seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syi’ah.
               Beliau berkata, ”Bismillaahir rahmaanir rahiim, semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog yang terjadi antara saya dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri sebagai muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran yang sering menjadi utusan Pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai macam muktamar (konferensi) dan seminar tentang Islam. Beliau adalah ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Ternyata, sejak masih muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota suci Syi’ah di Irak.
               Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di areal Universitas Sultan Qobus yang baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang disponsori Pemerintah setempat dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan dengan tanggal 9-13 April 1988 M.  Seminar ini dihadiri banyak para ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M)
               Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
               Di hari keduanya saat break seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Qur`an dan para sahabat yang telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpim setelah Rasulullah SAW wafat.”
               Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian. Saya pun menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya kitab Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbaab. Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah, Syaikh Husein An-Nuuri Ath-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun 1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini. Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzhalimi kalian, karena semua yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di Najaf, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syi’ah, di dekat kuburan Imam Ali Al-Murtadha.”
               Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya. Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah.”
               Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang seperti itu? Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian mendistribusikan kitab ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran madzhab kalian. Apakah ada sebuah keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syi’ah pada saat ini (Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syi’ah adalah tidak benar, seperti kitab An-Nuur Ath-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Qur`an bahwa mereka itu telah merubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian berat melaksanakan ini semua?”
               Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa telah Al-Qur`an telah dirubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah merubah-rubah Al-Qur`an. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian atas tuduhan ini?
               Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini.” 
               Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada Fathimah setelah wafat orang tuanya (Rasulullah SAW). Adalah Ali RA sebagai pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari disebut dengan Mushaf Fathimah.”
               Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran. Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara peringatan lahirnya Fathimah. Imam Khumaini berkata, ”Sesungguhnya saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fahimah. Akan tetapi cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafiy.” Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para isteri pembesar Iran.
               Kitab Al-Kaafiy yang ditulis oleh Imam Al-Kulaini adalah kitab Syi’ah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di kalangan Ahlu Sunnah. Hal ini lah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syi’ah. Di sana saya bisa melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.
               Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fathimah dan mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai dan menzhalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut teksnya?
               Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!” 
               Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa kalian mendistribusikan kitab ini (kitab Al-Kaafiy) ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkanya ke dalam bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang faham bahasa Inggris di Barat dan di Timur! Saya sendiri mempunyai cetakan terbaru yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika kitab Al-Kaafiy ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian telah berupaya keras dan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda madzhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”
               Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”
               Saya jawab, ”Memang benar, di dalam kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadits-hadits yang tidak shahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat, hadits-hadits palsu dan hadits-hadits yang tidak shahih. Dibandingkan dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan kemudian kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya? Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai negara! Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”
               Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya bahwa Syaikh Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke RS Sulthan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan jantung ini. Akhirnya, saya buru-buru pergi ke RS untuk melihat kondisinya. Di RS, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran, yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Pak Menteri bersalaman dengan kami. Di RS saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar keduanya (Pak Menteri dan Syaikh) leluasa bercengkrama.
               Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu An-Nur mengajak saya untuk menjenguk Syaikh di RS. Pada saat tiba di RS, kami melihat kamar Syaikh telah kosong dari para penjenguk. Teman saya ini mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang tema tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”
               Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini membutuhkan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan beliau pasti akan menyambutnya!”
               Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang keamanan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash yang jelas yang menguatkan akan keamanan kota suci. Misalnya firman Allah SWT, ”Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia,” (QS Ali Imran [03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman kepada seluruh makhluk yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan, dan juga dilarang beradu pendapat (adu mulut) di areal tersebut, apakah setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah haji Iran, kemudian mereka melakukan demontrasi meneriakkan yel-yel nama Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan. Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang terlihat beringas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”
               Wahai saudaraku… sengaja saya menyebutkan kejadian ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita sering bermuamalah dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya!
Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khumaini dan Tuduhannya terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
Di depan saya ada kitab yang berisi dialog antara Ruhullah Khumaini dengan penentangnya dari kalangan Ahlu Sunnah. Imam Syi’ah ini berdalil bahwa keyakinan imamah adalah benar dan wajib diimani oleh setiap muslim. Beliau melanjutkan dengan perkataannya di bawah ini:
 ”Keyakinan harus menolak Abu Bakar adalah perintah Al-Qur`an. Beliau mulai berbicara dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur`an tentang mewariskan tahta kekuasaan. Di antaranya, ”Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud,” (QS An-Naml [27]: 16), ”Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku  seorang anak dari sisi-Mu, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya‘qub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai,” (QS Maryam [19]: 5-6) dan ayat-ayat lainnya. Dari sini beliau berdalih bahwa ajaran mereka adalah benar bahwa Ali RA akan menerima warisan kekuasaan dari Rasulullah SAW.”
Kemudian beliau juga mengutip dalil-dalil bahwa Abu Bakar telah melanggar nash Al-Qur`an, kemudian dia sesuaikan dengan hawa nafsunya dan berupaya untuk menjauhkan Ahlul Bait dari pemerintahan. Abu Bakar juga telah menzhalimi Ahlul Bait di dalam kehidupan ini ketika dia membuat sebuah hadits yang berbunyi, ”Kami sekalian para nabi tidak mewariskan apa-apa. Yang kami tinggalkan hanya sedekah.”
Kemudian beliau di halaman 114 menjelaskan penyimpangan Umar bin Khaththab dari Al-Qur`an. Ia (Khumaini) telah menyebutkan beberapa kejadian lalu menafsirkannya sesuai dengan keinginannya. Misalnya kejadian pada saat Rasulullah SAW menyuruh Umar agar menulis sebuah surat dan lain-lainnya. Penulis juga mencantumkan ucapan Umar dalam kisah ini. Setelah penulis mencantumkan sumber rujukannya, dia berkata, ”Kisah ini menguatkan bahwa kebohongan itu berasal dari Umar bin Khaththab sang penipu!”
Kemudian di paragraf berikutnya penulis mengatakan beberapa ucapan Umar bin Khaththab dalam masalah ini, ”Sesungguhnya ucapan-ucapan itu berdiri di atas dasar kebohongan dan berasal dari perbuatan kufur dan zindiq!” (hal. 116). Masih di halaman yang sama dari buku tersebut, penulis membuat sub judul, ”Kesimpulan Kami tentang Masalah Ini,” kemudian dia menulis di bawahnya, ”Dari semua bahasan yang telah lalu, jelaslah bahwa penyimpangan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab terhadap Al-Qur`an menurut kaum muslimin bukan masalah penting.” Penulis berdalil tentang masalah ini bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khaththab tidak pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Keduanya juga tidak mau lengser dari jabatannya, juga Ahlu Sunnah tidak siap untuk melengserkan keduanya, walaupun Umar bin Khaththab berkata, ”Sesungguhnya Allah SWT, malaikat Jibril dan nabi telah salah menurunkan ayat ini.” Hal ini sama sebagaimana kaum muslimin juga berusaha untuk mendukung inovasi dan perubahan yang terjadi (disebabkan Umar) di dalam agama Islam. (hal. 117).
Sampai seperti ini Imam Khumaini menulis tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Dia menuliskan semua ini pertama-tama untuk para pengikutnya untuk menanamkan keyakinan seperti ini terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Sudah jelas, keyakinan ini kita tolak dan kami berlindung kepada Allah SWT dari orang yang mempercayainya. Oleh karena itu, jangan heran apa yang dikutip dari ucapan Imam Khumaini dalam karya-karyanya bahwasanya dia menyebut Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dengan sebutan Al-Jibt dan Thaghut. Dia juga menamai keduanya dengan sebutan Dua Berhala Quraisy. Dia dan jemaahnya berkeyakinan bahwa melaknat Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Aisyah dan Hafshah akan mendatangkan pahala dari Allah SWT. Demikianlah, tuduhan ini juga mereka alamatkan kepada Utsman bin Affan. [4]
Jangan heran, inilah pendapat Imam Khumaini tentang Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang lainnya, sampai dia membuat sebuah doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT secara berjamaah yang dinamai dengan Doa Dua Berhala Quraisy. Mereka selalu membaca doa ini,
بسم الله الرحمن الرحيم، اللهم صل على محمد و آل محمد..اللهم العن صنمي قريش و طاغوطيهما و إفكيها وابنيهما الذين خالفا أمرك و أنكرا وحيك و جحدا إنعامك و عصيا  رسولك و قلبا دينك و حرفا كتابك و أحبا أعداءك و جحدا آلاءك و عطلا أحكامك و أبطلا فرائضك و ألحدا في آياتك و عاديا أولياءك و واليا أعداءك و خربا بلادك و أفسدا عبادك، اللهم العنهما و أتباعهما و أولياءهما و أشياعهما و محبيهما فقد خربا بيت النبوة  و ردما بابه و نقضا سقفه و ألحقا سماءه بأرضه و عالية بسافله و ظاهره بباطنه واستأصلا أهله و أبادا أنصاره و قتلا أطفاله و أخليا منبره من وصيه و وارث عمله، و جحدا إمامته و أشركا بربهما فعظم ذنبهما و خلدهما في سقر و ما أدلراك ما سقر لا تبقي و لا تذر، اللهم اللهم العنهم بعدد كل منكر أتوه و حق أخذوه و منبر علوه و منافق ولوه و ولي آذوه و طريد آووه و صادق طردوه و كافر نصروه و إمام قهروه و فرض غيروه و أثر أنكروه و شر آثروه و دم أراقوه و خير بدلوه و كفر نصبوه و كذب دلسوه و إرث غصبوه و فيء اقتطعوه و سحت أكلوه و خمس استحلوه و باطل أسسوه و جور بسطوه.
“Dengan nama Allah yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Ya Allah, semoga selawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad.. Ya Allah, kutuklah dua orang Berhala Quraisy dan Thagutnya, juga kedua anaknya, yang mereka berdua itu telah melanggar perintah-Mu, menolak wahyu-Mu, mengingkari nikmat-Mu, bermaksiat kepada Rasul-Mu, merubah agama-Mu, merubah wahyu-Mu, mencintai musuh-musuh-Mu, menolak karunia-Mu, mencabut hukum-hukum-Mu, menolak perintah-perintah-Mu, melencengkan ayat-ayat-Mu, memusuhi wali-wali-Mu, bersikap loyal kepada musuh-musuh-Mu, menghancurkan negeri-Mu, menghancurkan hamba-hamba-Mu. Wahai Allah, laknatlah keduanya dan juga para pengikutnya, para pemimpinya, para pendukungnya dan para pecintanya. Keduanya telah menghancurkan rumah kenabian, merobohkan pintunya, mencabut atapnya, tanahnya dilekatkan ke atasnya, yang atas ke bawah dan yang bawah ke atas. Mereka mengusir penghuninya, menganiaya para pendukungnya, membunuh anak-anaknya dan membiarkan mimbar beliau kosong dari pewarisnya (yaitu Ali), mereka menyangkal imamah Ali, keduanya telah menyekutukan Rabbnya. Oleh karena itu, perbesarlah dosa mereka, kekalkanlah mereka berdua di neraka Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Wahai Allah laknatlah mereka karena sejumlah kejahatan yang telah mereka lakukan, hak yang telah mereka rampas, mimbar yang telah mereka hinakan, munafik yang telah mereka dukung, menolong orang-orang yang menyakitinya (Ali), dan orang jujur yang telah mereka usir, orang kafir yang telah mereka bantu, imam yang telah mereka hinakan, hukum yang telah mereka rubah, utang nyawa yang telah mereka tolak, kejahatan yang telah mereka sebarkan, darah yang telah mereka tumpahkan, kebaikan yang telah mereka rubah, dan kekufuran yang telah mereka dirikan, kedustaan yang telah mereka lakukan, hak waris yang telah mereka rampas, harta fa’i yang telah mereka potong, harta riba yang telah mereka makan, zakat seperlima yang telah mereka halalkan, kebatilan yang telah mereka dirikan dan keburukan yang telah mereka bentangkan.”
               Tidak sampai di sini, mereka juga meneruskan doa ini dengan membaca,
اللهم العنهما بعدد كل آية حرفوها و فريضة تركوها و سنة غيروها…اللهم العنهما في مكنون السر و ظاهر العلانية لعنا كبيرا…دائما دائبا سرمدا لا انقطاع لأمده و لا نفاد لعدده لعنا يعود أوله و لا ينقطع آخره…اللهم العنهم و محبيهم و مواليهم و المسلمين لهم و المائلين إليهم…و الناهقين باحتجاجهم و المقتدين بكلامهم و المصدقين بأحكامهم.  [قل أربع مرات] : اللهم عذبهم عذابا يستغيث منه أهل النار…آمين يا رب العالمين.
“Wahai Allah, laknatlah mereka dengan seluruh ayat yang telah mereka rubah, hukum yang telah mereka tinggalkan dan sunnah yang telah mereka rubah…Wahai Allah, laknatlah mereka berdua di tempat tersembunyi dan tempat terbuka dengan laknat yang besar…selama-lamanya, terus-menerus yang tidak bisa terputus waktunya dan tidak akan habis hitungannya dengan laknat yang akan berbalik laknat yang pertamanya dan tidak akan terputus laknat yang terakhirnya…(terus bersambung). Wahai Allah, laknatlah mereka dan juga  para pecintanya, kaum muslimin dan orang-orang yang pro kepada mereka…Juga orang-orang yang menyambung lidah argumen mereka dan orang-orang yang meniru ucapan mereka, orang-orang yang membenarkan hukum mereka.” (Ucapkanlah sebanyak 4X, “Wahai Allah, adzablah mereka dengan adzab yang penduduk neraka saja berlindung dari adzab tersebut…Aamiin wahai Rabb seluruh alam semesta).
               Doa ini semua diarahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang mengikuti keduanya!
               Saya berlindung kepada Allah dari kebencian seperti ini. Doa apa yang mereka sisakan bagi orang-orang yang ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya!? Wahai Allah yang Maha Menjaga! Mereka telah bersikap tidak senonoh, sampai-sampai mereka berdoa kepada Allah SWT dengan doa seperti ini!
               Ketahuilah bahwa Ali telah menikahkan putrinya (Ummu Kultsum binti Ali dari Fathimah, saudara perempuannya Al-Hasan dan Al-Husein) kepada Umar bin Khaththab. Apakah Imam Ali menilai Umar seperti yang mereka (orang-orang Syi’ah) nilai? Lantas mengapa justru Ali menikahkan Umar bin Khaththab dengan putrinya?
Saya yakin jika pendapat Imam Khumaini terhadap kami yang sangat menghormati Khulafaur Rasyidun dan para sahabat lainnya, pada saat ini pendapatnya masih jelas, yaitu dia menganggap kita adalah orang-orang kafir yang layak mendapatkan laknat dari Allah SWT!
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa kekuasaannya dia ingin mengekspor revolusinya ke negara-negara Arab. Yang dia inginkan bukan hanya revolusi dalam bidang hukum saja, akan tetapi ingin sesuai dengan madzhabnya. Dia ingin menggiring kita dari kekufuran (Ahlus Sunnah menurut dia) kepada Islam cara dia dan madzhabnya (Syi’ah)! Kemudian kita semua berdoa bersama-sama melaknat dua berhala Quraisy: Abu Bakar dan Umar bin Khaththab agar kita mendapatkan pahala dari Allah SWT!
Inilah yang akan dipaksakan kepada kita, jika Iran menang dalam perangnya melawan Irak. Kemudian dia dan pasukan tentaranya ingin menguasai negara-negara Arab -semoga Allah SWT tidak mentaqdirkan hal ini-. Insya Allah, akan ada penjelasan lengkapnya tentang topik ini.
Profesor Ahmad Amin telah menulis beberapa sifat khusus Imam Syi’ah yang beliau nukil dari kitab Al-Kaafiy, karya Al-Kulaini yang merupakan kitab utama madzhab Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah.[5] Beliau menyebutkannya sebagai berikut :
  1. Mereka berkeyakinan bahwa imam mereka menerima wahyu, meski cara pewahyuannya berbeda dengan nabi dan rasul.
  2. Barangsiapa yang tidak mempunyai imam, maka dia akan menjadi orang sesat dan barangsiapa mati dalam keadaan tanpa imam, maka matinya dalam keadaan kafir dan munafiq. Telah berkata Imam Ridha, ”Manusia itu adalah hamba sahaya kami dalam hal ketaatan.”
  3. Para imam adalah cahaya Allah, yang Allah SWT telah berfirman tentang mereka, ”Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan,” (QS At-Taghabun [64]: 8). Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini bukan Al-Qur`an, tetapi para imam Syi’ah.
  4. Para Imam Syi’ah adalah tiangnya bumi agar bumi tidak bergoyang.
  5. Para Imam adalah suci dari dosa-dosa, tidak mempunyai cela dan banyak ilmunya.
  6. Seluruh perbuatan umat manusia akan diperlihatkan kepada Nabi dan kepada para Imam Syi’ah.
  7. Para Imam Syi’ah adalah tempat berpijaknya Risalah Allah SWT; tempat Allah SWT menyimpan rahasia-Nya di bumi dan titipan-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
  8. Para Imam memiliki seluruh kitab Allah SWT yang diturunkan kepada para rasul dan mereka memahaminya dengan bahasa kitabnya masing-masing.
  9. Tidak ada yang bisa menguasai ilmu Al-Qur`an, kecuali para Imam Syi’ah. Yaitu dengan cara mendapatkan warisan dari Imam Ali RA.
  10. Para Imam mengetahui perkara yang telah lalu dan yang akan terjadi. Tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sedikit pun. Sesungguhnya Allah SWT tidak mengajarkan kepada Nabi-Nya sedikit pun ilmu, kecuali setelah Allah SWT menyuruh Ali agar mengajarinya. Kemudian ilmu ini diwariskan kepada seluruh Imam Syi’ah.
  11. Rasulullah SAW didampingi oleh sebuah ruh yang sangat besar melebihi malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini sekarang menemani para Imam Syi’ah.
  12. Para malaikat akan memasuki rumah para Imam Syi’ah. Para malaikat akan menginjakkan kakinya di karpet para imam dan mereka memberitahukan sesuatu kepada para Imam.
  13. Bumi ini semuanya adalah untuk para Imam. Dan Ahlul Bait adalah orang-orang yang akan mewarisi bumi ini. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah  (tertulis) di dalam Adz-Dzikir (Lauh Mahafuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh,” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Adapun yang dimaksud dengan hamba-hamba-Ku yang saleh adalah  para Imam Syi’ah.
Inilah ajaran yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah di dalam kitab-kitab mereka. Kecuali Syi’ah Ismailiyyah mempunyai perbedaan sedikit dengan Syi’ah Imamiyah. Akan tetapi, bisa saja di dalam ajaran Syi’ah Ismailiyyah ada ajaran-ajaran yang lebih jauh penyimpangannya, sehingga diakui oleh ajaran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
Sumber: Buku berbahasa Arab, karya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dengan judul Fataawaa Mu’aasharah, (Fatwa-fatwa Kontemporer), juz ke-4, penerbit Darul Qalam Kuwait, hal. 275-298.
Penerjemah: Dudung Ramdani, Lc -Staf LPPI Jakarta-

[1] Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri!
[2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An-Nafis.
[3] Lihat kitab Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz-Dzahabi hal. 68.
[4] Lihat kitab Kasyful Asraar hal. 107. Juga lihat kitab Syahadat Khumaini fii Ashaabi Rasuulillaah karya Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah, mantan khatib Masjidil Aqsha yang dicetak oleh Penerbit Daar Ummar Yordania.
[5] Silahkan merujuk ke kitab Dhuha Islam (Cahaya Islam), hal. 3 cetakan pertama.
Sumber : http://arrisalah-institute.blogspot.com/2012/03/fatwa-kontemporer-syaikh-yusuf-al.html

SOAL PAT IPS KELAS 9

PENILAIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN 201 9 -20 20   Mata    Pelajaran                  : Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Kelas/Seme...