PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SUNNI DENGAN
MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
(diterjemahkan oleh ust Dudung Ramdani, Lc)
Pertanyaan:
Yang terhormat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi -hafidhahullah-
Saya bermaksud mengajukan sebuah pertanyaan kepada Anda, semoga
Anda bisa menjawabnya dengan terusterang yang bisa melegakan dada dan
menghilangkan keraguan.
Kami di Mesir tidak mengenal madzhab yang lain kecuali madzhab Ahlu
Sunnah wal Jamaah yang terdiri dari empat madzhab yang sudah dikenal
yang dipimpin oleh para imam. Di antaranya oleh Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’ie dan Imam Ahmad. Penduduk Mesir menganut tiga
madzhab yang pertama. Madzhab Malik di daerah Sha’id dan sebagian kota
yang ada di pinggir laut Merah, dan madzhab Syafi’ie dianut oleh
sebagian besar penduduk pinggiran laut Merah, dan madzhab Hanafi hanya
dianut oleh beberapa orang tertentu saja yang diwarisi dari zaman
kekhalifahan Utsmaniyah.
Kami sama sekali tidak kenal yang namanya Syi’ah
sedikit pun. Hal ini dikarenakan kami tidak pernah bersinggungan dengan
mereka. Setahu saya, di Mesir tidak pernah ditemukan ada orang Syi’ah
walaupun hanya seorang. Yang kami tahu bahwa mereka itu hanya
orang-orang yang berlebihan di dalam mencintai dan fanatik terhadap
Ahlul Bait. Sedangkan kami warga Mesir sebagaimana yang engkau ketahui
cinta juga terhadap Ahlul Bait. Sebab kami memiliki beberapa situs Ahlul
Bait yang biasa dikunjungi dan ada beberapa perayaan yang sering
dirayakan. Misalnya terhadap Al-Husain, Zainab di Kairo, Ahmad Al-Badawi
di Tanta dan yang lainnya.
Belum pernah sama sekali ada para ulama dari
kalangan Ahlu Sunnah yang memuji Syi’ah ataupun mencelanya. Oleh karena
itu, seluruh rakyat Mesir bersikap masa bodoh terhadap Syi’ah ini, baik
dari sisi akidahnya maupun pemikiran-pemikirannya. Sampai kami
dikagetkan di akhir-akhir tahun ini bahwa sebagian warga Mesir sudah ada
yang meninggalkan madzhab Sunninya dan kemudian mereka beralih menjadi
pengikut madzhab Syi’ah. Sebagian mereka ada yang giat menulis di
koran-koran, ada juga yang menyebarkan selebaran, ada juga yang menulis
buku yang berisi pandangan-pandangan miring terhadap Ahlu Sunnah wal
Jamaah yang ujungnya mengajak masuk ke dalam madzhab Syi’ah. Setahu kami
bahwa madzhab Syi’ah ini berbeda dengan madzhab Ahlu Sunnah yang kami
fahami. Setelah beberapa kali pertemuan, kami tahu dari orang-orang yang
berkata bahwa orang-orang itu (antek Syi’ah) bekerja karena bantuan
finansial dari Iran. Mereka selalu menyerang Ahlu Sunnah, baik dahulu
maupun sekarang. Sehingga hal ini membuat kami bingung, karena kami
tidak mempunyai basic pengetahuan untuk membela pada saat
orang-orang Syi’ah sangat terlatih di dalam menyebarkan berbagai macam
tuduhan dan merubah-rubah perkataan dan bahkan mereka menciptakan
kebohongan-kebohongan. Semua ini dilakukan dalam rangka perang terhadap
Ahlu Sunnah yang masih disibukkan dengan urusan diri dan perutnya dan
perpecahan internal yang terjadi.
Apakah memang ada perbedaan yang mendasar antara
Sunni dan Syi’ah? Apa bentuk perbedaan ini? Bagaimana sikap Syi’ah yang
sebenarnya terhadap Al-Qur`an, As-Sunnah dan para sahabat? Dan bagaimana
kedudukan imam yang 12 orang itu?
Mengapa para ulama Ahlu Sunnah membiarkan kami tanpa
dibekali pengetahuan walaupun hanya sekelumit, yang wajib diketahui
oleh seorang Sunni tentang Syi’ah?
Saya yakin bahwa para ulama mempunyai tanggung jawab
yang besar di hadapan Allah SWT dan di hadapan umat. Demikian juga
Anda, Anda mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, sebab umat sudah
percaya dengan ilmu Anda, dan percaya dengan seluruh nasihat Anda,
keberanian dan semangat Anda terhadap agama Islam ini.
Saya mohon, – demikian juga seluruh teman-teman saya
– mendapatkan penjelasan yang sangat jelas atas masalah ini. Sehingga
semuanya jelas, hati menjadi tenang dan Allah SWT akan memberikan
hidayah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
Harapan kami, semoga Anda tidak menyepelekan masalah ini atau terlambat menjawabnya.
Semoga Allah SWT melindungi Anda, juga membimbing langkah Anda.
Dr. Abdullah Salim (Dosen perguruan tinggi)
Jawaban:
Segala puji bagi Allah SWT, semoga selawat dan salam tercurah
kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya dan juga
kepada seluruh umatnya yang mengikuti petunjuknya. Amma ba’du,
Sungguh, saudara telah mengupas dengan tegas di dalam surat ini,
yaitu tentang luka yang kami diamkan sejak lama dan kami baru berusaha
untuk membalutnya dengan perban agar darah luka itu berhenti mengalir.
Atau kami baru berusaha untuk memberi obat pereda sakit yang tidak akan
membasmi bakteri ke akar-akarnya. Sejak lama pula, kami telah
mewanti-wanti untuk tidak membahas topik ini untuk menghindari
perpecahan golongan atau membangunkan fitnah yang sedang tertidur. Kami
sengaja membiarkan saudara-saudara kami dari Ahlu Sunnah agar lalai,
tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang hal ini. Padahal di sisi
lain, ada kader-kader yang sedang disiapkan dan dilatih untuk
menyebarkan madzhab Syi’ah di kalangan Ahlu Sunnah. Ketika ada
kesempatan, dengan cepat para kader Syi’ah ini langsung memanfaatkannya.
Mereka pun menebarkan jaring-jaringnya dari atas kuda mereka. Ada saja
orang yang terperangkap ke dalam jaring mereka ini! Memang benar jika
mereka itu (orang-orang Syi’ah) jumlahnya hanya sedikit. Akan tetapi
jumlah yang sedikit bisa menjadi banyak jika terbuka kesempatan dan
sebab-sebab ke arah sana (bertambah pengikut) masih ada. Tanggung jawab
pertama ada di tangan kami sebagai para ulama Ahlu Sunnah yang mana kami
telah berjanji di hadapan Allah SWT bahwa kami akan senantiasa
menjelaskan kebenaran dan tidak akan menyembunyikannya.
Kewajiban ini menjadi kuat ketika bahaya sudah menjadi-jadi di
hadapan kita dalam bentuk jaringan terorganisir yang dipimpin oleh
orang-orang yang mempunyai semangat tinggi, bukan hanya sekedar pegawai
biasa. Tangan mereka membawa bermilyar-milyar dolar untuk memuluskan
tujuan ini dan di belakang mereka ada negara ideologis, kuat dan makmur
yang membiayainya.
Saya telah mengikuti berbagai seminar pendekatan
antara Sunni dan Syi’ah di Rabbat-Maroko, Bahrain, Damaskus dan Doha.
Saya juga pernah berkunjung ke Iran dan bertemu dengan presiden Iran,
seorang cendikiawan bernama DR. Muhammad Khatami. Saya juga telah
bertemu dengan banyak Mullah dan Ayatullah di beberapa kota di Iran.
Pada semua kesempatan ini, saya selalu menekankan kepada mereka beberapa
perkara penting, di antaranya:
- Pernyataan tegas dari pihak Syi’ah bahwa Al-Qur`an itu (sebagaimana
yang tertera di mushaf kaum muslimin saat ini) adalah firman Allah SWT
yang diturunkan (untuk manusia). Al-Qur`an ini terpelihara, tidak ada
pengurangan dan tidak ada penambahan sedikitpun. Tidak ada hal-hal rancu
di dalamnya.
- Berhenti mencela para sahabat. Karena para sahabat lah yang telah
menukil Al-Qur`an untuk kita, meriwayatkan As-Sunnah, melakukan
penaklukan damai dan Allah SWT dan Rasul-Nya telah memuji mereka.
- Berhenti melakukan penyebaran sebuah madzhab di sebuah negara yang
dihuni pemeluk madzhab tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad Mahdi Syamsuddin dari Libanon, ”Berhenti menyebarkan faham sebuah madzhab di negara bermadzhab lain”.
- Mengakui hak-hak minoritas, baik Sunni maupun Syi’ah.
Walaupun saudara-saudara kami dari Syi’ah membenarkan ucapan saya
ini secara teori, akan tetapi mereka tidak menepati janji mereka dalam
prakteknya. Khususnya poin nomor 3, yaitu berhenti melakukan penyebaran
madzhab Syi’ah di negeri-negeri Sunni. Kami melihat mereka bersikap masa
bodoh. Mereka menerobos masuk ke masyarakat Sunni dengan memanfaatkan
kekaguman Ahlu Sunnah atas sikap Syi’ah di bidang politik dan militer.
Mereka menjadikan hal tersebut sebagai alat propaganda.
Dahulu Mesir merupakan negara yang seratus persen dihuni oleh Ahlu
Sunnah. Demikian juga dengan Sudan, Libya, Al-jazair, Tunis, Maroko, dan
Mauritania. Tidak ada Syi’ah di sana walaupun hanya seorang, meski
dahulunya Mesir dan Afrika Utara dikuasai oleh Daulah Bani Fathimiyah
(Daulah Syi’ah). Akan tetapi hal ini tidak membuat rakyat Mesir menjadi
penganut Syi’ah walaupun ada banyak iming-iming materi yang ditawarkan
kepada rakyat Mesir. Pada saat itu, di Mesir ada slogan seperti ini, ”Barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan menerima satu dinar dan kacang!”
Maksudnya barangsiapa yang berani melaknat para sahabat, maka dia akan
mendapatkan satu Dinar uang emas dan hadiah kacang-kacangan atau gandum
(sembako).
Pada saat Shalahuddin Al-Ayyubi berkuasa di Mesir, penganut madzhab
Sunni di Mesir adalah 100 %. Pada saat itu, Al-Azhar menjadi mercusuar
madzhab Sunni sampai beberapa abad lamanya. Sampai akhir tahun-tahun
yang penuh ujian ini, orang-orang dikagetkan – sebagaimana yang
dikatakan oleh penanya-, ada orang yang terang-terangan mengaku sebagai
Syi’ah dan mendakwahkannya! Tentu, masalah ini perlu diklarifikasi dan
inilah saatnya dan jangan sampai terlambat. Pada saat inilah saya
berkewajiban menjawab pertanyaan saudara penanya.
Apakah ada perbedaan yang mendasar antara madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah? Apa saja bentuknya?
Kami jawab: Kami melihat bahwa ada dari sebagian orang-orang Syi’ah
yang tidak mempunyai perbedaan yang mendasar dengan kami (Ahlu Sunnah).
Baik dalam masalah ushul maupun di dalam masalah furu’. Contohnya
adalah Syi’ah Zaidiyyah yang tersebar di Yaman. Mereka mengakui
kitab-kitab Ahlu Sunnah seperti Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan
Kutubus Sittah (Kitab 6 Imam) yang lainnya, juga Al-Muwaththa, Musnad
Imam Ahmad dan seluruh para pengarang kitab hadits. Sebagian kitab-kitab
Syi’ah Zaidiyah sama dengan kitab-kitab Ahlu Sunnah, baik di dalam hal
sumber maupun isinya. Contohnya kitab Ar-Raudhu An-Nadhir yang
menjelaskan seluruh hadits kumpulan Imam Zaid bin Ali RA. Tapi terdapat
pula perbedaan di dalam cabang-cabang akidah, seperti perbedaan yang
terdapat antara Ahlu Sunnah dengan Mu’tazilah. Akan tetapi Syi’ah
Zaidiyyah tidak pernah mencela para sahabat dan juga mereka meyakini
bahwa Al-Qur`an tidak terjadi pengurangan maupun penambahan dan
lain-lainnya.
Perbedaan yang dimaksud di dalam pembahasan kali ini adalah
perbedaan antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah. Karena
mereka itulah, ada sebuah pertanyaan yang menuntut agar dibedakan antara
madzhab Sunni dengan madzhab Syi’ah. Jawabannya, sudah jelas dan
gamblang.
Di dalam masalah fiqih dan furu, secara praktis tidak ada perbedaan
mencolok antara Sunni dan Syi’ah Imamiyah atau Ja’fariyah. Perbedaan
fiqih kita dengan mereka sama halnya dengan perbedaan antara
madzhab-madzhab yang ada di kalangan Ahlu Sunnah. Kita lihat Imam
Asy-Syaukani menyebutkan madzhab Ahlul Bait di dalam kitabnya Nailul Authar.
Akan tetapi, tidak ada seorang pun dari kalangan Sunni yang keberatan
atas hal ini. Karena tidak ada perbedaan yang mendasar di antara
madzhab-madzhab tersebut.
Akan tetapi, secara fiqih ada beberapa bentuk amaliyah munkarah
(perbuatan munkar) yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Misalnya
masalah ucapan tasyahud di dalam adzan yang ditambah menjadi 3, dengan
ucapan, ”Aku bersaksi bahwa Ali Wali Allah!” benar para ulama
Syi’ah telah sepakat bahwa penambahan ini tidak ada dasarnya di dalam
ajaran (fiqih) mereka. Akan tetapi hal ini dibiarkan saja karena mereka
takut orang-orang awam akan marah besar!
Sesungguhnya perbedaan yang mendasar di antara kedua madzhab ini
(Sunni dan Syi’ah) adalah perbedaan di dalam masalah ushuluddin
(pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh karena itu,
sebutan untuk perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua golongan,
yaitu Ahlu Sunnah di satu sisi dan Syi’ah di sisi yang lainnya.
Perbedaan ini bukan di antara dua madzhab fiqih.
Sikap Ahlu Sunnah terhadap firqah Syi’ah terbagi ke dalam tiga golongan.
1. Golongan Sunni yang Mengkafirkan Syi’ah
Kelompok pertama yaitu orang-orang yang mengafirkan Syi’ah dan
menganggap mereka telah murtad dari Islam. Inilah pendapat orang-orang
salafi secara umum. Apalagi kelompok salafi yang berlebihan, bukan hanya
mengkafirkan Syi’ah tapi juga mengkafirkan kelompok Ahlus Sunnah
lainnya yang fahamnya berseberangan dengan mereka atau orang-orang yang
biasa melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bisa ditakwilkan.
Di antara penulis yang menuliskan masalah ini secara ilmiah yaitu
buku yang ditulis oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khathib, seorang ahli
sejarah dan pentahqiq senior yang juga direktur Majalah Al-Fath dan
Majalah Az-Zahra yang mengusung tema pemurnian Islam di zamannya. Beliau
juga adalah pimred harian Al-Ikhwan Al-Muslimun dan majalah Al-Azhar
untuk beberapa periode.
Ustadz Al-Khathib telah menulis bukun berjudul, “Al-Khuthuth Al-’Aridhah allati Qama ’Alayha Din Al-Syi’ah” (Dasar-dasar yang Dipegang oleh Agama Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyah).
Buku ini mengupas permasalahan yang sangat penting tentang sikap
orang-orang Syi’ah terhadap Al-Qur`an bahwa Al-Qur`an telah
dirubah-rubah dan dikurang-kurangi. Penulis Syi’ah yang menulis buku
tentang perubahan di dalam Al-Qur`an adalah Fashlu Al-Khithab fi Itsbati Tahrif Kitabi Rabbil Arbab
(yang dimaksud dengan kitab adalah Al-Qur`an) karya An-Nuri
Ath-Thabrasi yang kematiannya selalu diperingati secara meriah oleh
orang-orang Syi’ah dan dikuburkan di dekat kuburan Imam Ali RA.
Beliau menjelaskan tentang sikap orang-orang Syi’ah terhadap
As-Sunnah dan terhadap para sahabat, ajaran Taqiyyah dan beberapa hal
lainnya. Singkat kata, madzhab Syi’ah ini mempunyai perbedaan yang
sangat jauh dengan madzhab Ahlu Sunnah.
Ustadz Muhibbuddin Al-Khathib juga menulis beberapa buku dan
artikel yang berisi pembelaan terhadap para sahabat. Seperti buku yang
berisi resensi dan catatan penting beliau terhadap buku yang ditulis
oleh Abu Bakar bin Al-Araby tentang para sahabat yang berjudul, Al-‘Awashim min Al-Qawashim. Buku lainnya yaitu tentang catatan beliau terhadap buku Al-Muntaqa dari kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi. Beliau juga menulis buku dengan judul, Bersama Generasi Pertama.
Buku ini berisi penjelasan dan pembelaan tentang kedudukan para sahabat
di dalam Islam, jihad serta upaya mereka di dalam membela sang Penutup
para nabi.
Beberapa saat setelah itu, muncullah buku ulama Pakistan yang
sangat terkenal, yaitu Ihsan Ilahi Zhahir yang memperluas pembahasan
buku Al-Khathib tersebut. Beliau berargumentasi dengan buku-buku Syi’ah
sendiri, juga melakukan pembantahan terhadap tuduhan-tuduhan Syi’ah.
Sampai akhirnya beliau syahid ditembak di salah satu pertemuan yang
beliau hadiri. Orang-orang Syi’ah lah yang berada di balik aksi
penembakan beliau ini.
Saya berpendapat bahwa di dalam masalah ini terdapat sikap
berlebihan menghukumi orang-orang Syi’ah secara umum. Terutama mengenai
masalah pengkafiran-pengkafiran yang mencap orang lain telah murtad dari
Islam- adalah masalah yang sangat berbahaya. Sejak lama, saya telah
menulis sebuah buku dengan judul, “Zhahirat Al-Ghuluww fi At-Takfir” Sikap Berlebihan di Dalam Mengafirkan Orang Lain.
Saya melihat bahwa yang harus dilakukan di dalam masalah ini adalah
bersikap hati-hati, melakukan penelitian terlebih dahulu dan
bermusyawarah sebelum mencap orang lain dengan cap kafir. Bagaimana pula
halnya dengan mengafirkan sebuah jamaah (perkumpulan seperti Syi’ah)
yang terdiri dari puluhan juta orang?!
Selagi ada celah untuk perkataan atau perbuatan itu ditakwil yang
bisa mengeluarkan musuhnya dari kekafiran, maka seyogyanya seorang alim
menempuh hal itu. Sebab tidak boleh mengkafirkan orang lain kecuali
dengan indicator pasti yang tidak bisa ditafsirkan kecuali dengan
mencapnya sebagai orang kafir, seperti telah mengucapkan sesuatu atau
melakukan perbuatan kufur yang nyata. Kami berpendapat bahwa sikap
moderat adalah, ”Sesungguhnya mereka mengafirkan orang secara umum
dan tidak mengafirkan orang per orang (tertentu saja) kecuali dengan
banyak syarat.”
Pada bagian buku saya ini terdapat pembahasan tentang fatwa takfir
dan syarat-syaratnya. Fatwa ini adalah fatwa saya yang lama. Silahkan
dikaji kembali.
Memang ada hadits tentang perpecahan umat Islam sehingga terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali
satu saja. Namun hadis itu masih tetap menggolongkan firqah-firqah yang
sesat dan celaka itu sebagai bagian umat Islam ini, dan tidak
mengeluarkan mereka darinya, ketika beliau bersabda, ”UMMATKU akan
terpecah belah!”
Saya juga ingin mengatakan, sesungguhnya dari kalangan orang-orang
Syi’ah ada yang ekstrim dan suka mengkafirkan Ahlu Sunnah. Kami telah
menukil sebagian perkataan mereka itu di beberapa forum. Bahkan di
antara mereka ada yang berani mengafirkan para sahabat. Ada juga yang
berani mengafirkan umat Islam seluruhnya, kecuali yang tidak kafir hanya
Syi’ah, seperti yang tercantum di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah karya Syaikh Nikmatullah Al-Musawi Al-Jazairi.
2. Orang-orang Sunni yang Melihat Syi’ah dari Sisi Politik Semata
Kelompok kedua adalah kebalikan dari kelompok
pertama yang suka mengafirkan Syi’ah. Kelompok ini tidak pernah melihat
Syi’ah dari sisi akidah dan pokok-pokok ajaran mereka yang bertentangan
dengan akidah mayoritas umat Islam. Mereka ini tidak mau memperhatikan
Syi’ah dari sisi ajaran atau keyakinan mereka terhadap Al-Qur`an,
As-Sunnah dan para sahabat. Mereka juga tidak mau memperhatikan Syi’ah
dari sisi ucapan mereka yang mengatakan bahwa para Imam mereka adalah
orang-orang maksum, mengetahui hal gaib yang tidak diketahui oleh para
nabi dan ucapan mereka bahwa Imamah adalah pokok ajaran Syi’ah yang
barangsiapa menolaknya, maka dia dicap kafir. Kelompok ini juga tidak
memperhatikan Syi’ah dalam hal tingkah laku mereka yang menyimpang.
Misalnya peristiwa peringatan wafatnya Al-Husain RA setiap tahunnya
dengan cara menampar pipi, merobek-robek kantong baju, juga memukul dada
dan punggung sampai berdarah-darah. Ritual ini terus diamalkan sampai
lebih dari tiga belas abad lamanya. Mereka juga beriman bahwasanya
Al-Mahdi itu ada dan sekarang sedang bersembunyi di Sirdab dan belum
keluar dari persembunyiannya sejak 11 abad yang lalu. Keyakinan semacam
ini jelas menyalahi sunnatullah pada usia manusia.
Kelompok Sunni ini tidak menghiraukan semua akidah
Syi’ah yang batil ini. Kelompok ini hanya melihat sisi politiknya saja
sebagai buah dari Revolusi Imam Khumaeni. Di antara yang menonjol adalah
Iran berani menantang Amerika Serikat dan anak emasnya Israel. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kelompok pejuang Hizbullah (Syi’ah) di Libanon
yang perang melawan Israel pada musim panas tahun 2006 M.
Oleh sebab itulah, kita harus diam saja dan jangan
membicarakan madzhab mereka (Syi’ah) dan akidah mereka. Juga strategi
mereka untuk menumpas masyarakat Sunni dengan persiapan dana jutaan
bahkan milyaran dollar Amerika yang ditunjang dengan orang-orang yang
sudah terlatih dan siap berperang, pada saat Ahlu Sunnah tidak memiliki
pertahanan sedikit pun. Realita ini persis dengan pertanyaan yang
ditanyakan oleh saudara penanya, ”Sesungguhnya para ulama Ahlu
Sunnah tidak membekali ilmu yang memadai untuk membendung Syi’ah dan
mereka membiarkan dada para pengikut Ahlu Sunnah terbuka sehingga
menjadi sasaran empuk anak panah dari kanan maupun dari kiri.”
Saya melihat di sini bahwa kita harus bisa
membedakan mana siasat politik mereka dan mana ajaran atau akidah
mereka. Kita hanya mendukung dari sisi politik mereka melawan Amerika
dan Israel. Kita juga hanya mendukung Iran dari sisi pengembangan nuklir
dan kita akan menolak segala bentuk intervensi atas hak mereka di
dalam pengembangan reaktor nuklir. Kita juga berdiri dengan segala
kekuatan kita untuk melawan Amerika jika mereka melakukan serangan
militer terhadap Iran. Inilah yang saya terangkan dengan sangat jelas,
alhamdulillah. Saya katakan, ”Kita akan melawan Amerika jika Iran
diserang!” Ucapan saya ini telah disiarkan oleh stasiun tv milik Iran.
Mereka memuji saya dalam hal ini dan mengucapkan ucapan terimakasihnya
melalui telepon. Perlu dicata, saya tidak mengucapkan kecuali sesuatu
yang saya anggap sebagai kebenaran!
Saya pun mendukung tentara Hizbulloh pada saat
mereka perang melawan Israel. Saya juga telah membantah fatwa salah satu
ulama senior Saudi yaitu Syaikh Jibrin di dalam program TV Aljazeera
yang bertajuk “Syariah dan Kehidupan”. Di dalam buku ini pun ada fatwa mengenai masalah ini.
Yang jelas, resistensi kita terhadap ajaran Syi’ah
tetap ada, dan sikap kita tidak berubah terhadap pokok-pokok ajaran
mereka. Demikian pula sikap saya tetap tegas menolak segala bentuk
penyebaran ajaran Syi’ah ke tengah-tengah Ahlu Sunnah!
3. Kelompok Pertengahan
Di antara kedua kelompok yang telah disebutkan, ternyata ada satu
kelompok yang moderat. Kelompok ini hanya berseberangan dengan Syi’ah
dari sisi keyakinan dan pokok-pokok ajaran mereka dan juga tingkah laku
serta slogan ciri khas mereka. Misalnya ada tiga syahadat di dalam adzan
mereka atau peringatan wafatnya Husein di hari Asyuro setiap tahunnya.
Padahal yang diajarkan di dalam As-Sunnah bahwa kita tidak boleh
bertakziyah setelah tiga hari sejak wafatnya seseorang. Akan tetapi
kelompok ini tidak sampai mengkafirkan Syi’ah dengan kufur yang nyata
dan besar, kecuali untuk beberapa hal yang tidak bisa ditakwil dan
dihukumi kafir untuk pelakunya.
Posisi kita adalah bergabung dengan kelompok yang tidak
mengkafirkan Syi’ah ini secara mutlak. Namun, kelompok pertengahan ini
berbeda pandangan secara tajam dengan Syi’ah di beberapa masalah utama,
di antaranya:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al-Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al-Qur`an seperti yang telah
saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan
Al-Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur`an adalah
firman Allah SWT. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang dicetak
di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al-Qur`an ini dihafal oleh
anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di sana.
Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al-Qur`an di dalam masalah
pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh
para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di
antara mereka yang berkata, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini tidak lengkap.
Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh
Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
Mungkin saja sebagian besar ulama mereka tidak
mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak mengafirkan orang yang telah
mengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap
Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan
dan pengurangan terhadap Al-Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami
akan cap dia sebagai orang kafir!
Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al-Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al-Bukhari
bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan lalu
didistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di
dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As-Sunnah
Definisi As-Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah
Rasulullah SAW yang telah dimaksum oleh Allah SWT dan Dia perintahkan
umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan
kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu.
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An-Nur [24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,” (QS An-Nur [24]: 56). “Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” (QS An-Nisa [04]: 59). “Katakanlah
(Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah
bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa
menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.
Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami
tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An-Nisa [04]: 80). “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak
lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An-Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi’ah adalah
sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya,
sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah
kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib
ditaati sebagaimana taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan
dengan wahyu. Mereka telah menambahkan perintah Al-Qur`an untuk taat
kepada Allah SWT dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah
SWT sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik
Syi’ah karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak
tsiqah (terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan
kesempurnaan hafalan.
Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah
tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih
Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak mau menerima kitab
Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat
merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan
dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah SAW telah
berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti
beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka
merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat
telah berkhianat terhadap Rasulullah SAW yang menjadi wasilah mereka
mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman beliau untuk menolongnya
walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat bersekongkol untuk
melakukan hal ini, sementara Ali RA –sang pemberani- hanya bisa diam
saja tidak berani mengumumkan haknya ini. Justru Ali malah ikut membaiat
Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak berkata kepada salah
seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat dari
Rasulullah SAW. Akan tetapi, mengapa kalian bersikap seolah-olah tidak
tahu? Mengapa kalian hanya bermusyawarah dengan enam orang saja dan
kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah orangnya yang harus
memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini dengan wasiat
Rasulullah SAW?” Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini?
Kemudian, jika memang Al-Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat
sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah SAW, tapi
mengapa justru Al-Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini
kepada Muawiyah? Mengapa Al-Hasan melakukan hal ini, padahal ini
merupakan perintah dari Allah SWT? Dan mengapa justru Rasulullah SAW di
dalam haditsnya (hadits ramalan Rasulullah SAW) memuji sikap Al-Hasan
ini?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka!
Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat
yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan
keterangan yang Allah SWT sebutkan di dalam beberapa surat Al-Qur`an.
Seperti di akhir surat Al-Anfal, surat At-Taubah, surat Al-Fath di
pertengahan di akhirnya, surat Al-Hasyr dan surat-surat lainnya.
Demikian pula As-Sunnah telah memuji para sahabat
baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka itu dianggap
sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah SAW.
Juga apa yang dicatat oleh sejarah tentang mereka.
Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al-Qur`an dan dari mereka
lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah menukil
As-Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah SAW
baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan
negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah
SWT dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan kepada
bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani yang
dijadikan sebagai petunjuk.
4. Imamah Ali dan keturunannya yang berjumlah 12 imam
merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak, maka dia dicap
kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah Imamiyah Itsna
’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah, keyakinan Syi’ah
bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein merupakan
pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah SWT, beriman kepada
para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya, beriman kepada para
rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan
diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman
bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga
halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang
berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang
akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di
dalam Al-Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah
mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu
Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak
mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil
dan dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya.
Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang
tidak mengakui imamah Ali RA. Mereka juga mengkafirkan tiga orang
khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para
sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui
bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk
Ali bin Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat
Abu Bakar. Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak
mengingkari keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi
kami dalam hal ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga)
Rasulullah SAW.” Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa dia mempunyai nas wasiat dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah
imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan
termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di
dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam
kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat
terpaksa para ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam
kitab-kitab akidah untuk membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam
masalah ini.
Syaikh Muhammad ‘Arfah seorang anggota Lembaga Ulama
Senior Al-Azhar pada zamannya telah menukil dari kitab-kitab akidah
milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami
ucapkan tentang mereka. Beliau berkata,
”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab akidah milik orang-orang
Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat
yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil ajaran mereka yang
kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu masalah imamah,
ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka
terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah SAW wafat sampai hari
ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali
dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli
hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babwaih
Al-Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan
ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu
adalah pengarang kitab yang berjudul, Man La Yahdhuruhul Faqih, salah satu kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia berkata, ”Kami
berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib
dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak
nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang
yang mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah
seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi
mereka menolak Nabi Muhammad SAW.” Dia juga berkata di dalam Risalat Al-I’tiqadat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa
yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah SAW), artinya dia telah
menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku, artinya dia
telah menolak rububiyah Allah SWT.”
Rasulullah SAW telah bersabda, ”Wahai Ali,
Sesungguhnya kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi.
Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku;
barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah
bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan
menolak aku.”
Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
Nabi Muhammad SAW bersabda,
”Para imam setelah
aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al-Mahdi.
Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama
dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang
dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata,
”Barangsiapa
yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim
mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah SAW untuk Ali
menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh
telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan
mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah musyawarah
yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai ciri khas kaum muslimin, ”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy-Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan adanya wasiat itu, umat Islam
terbelakang selamanya, sehingga Allah SWT harus menentukan siapa
orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan
orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari
keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah
sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang
yang diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul
amanah ini dan menakhodai umat ini.
Saya yakin jika Negara Islam yang dipersepsikan oleh
Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah digambarkan
oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai dengan
yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak
menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau
sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan
agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher
masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa
atas diri mereka sendiri kecuali harus mengatakan, ”Kami mendengar dan
kami taat!”
Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh takdir Allah, di
mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang mereka
yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari
11 abad. Bagaimana mungkin Allah SWT akan membiarkan umat manusia tanpa
imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah)
berkata, ”Kami masih mempunyai Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk membimbing kami!” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar
rasa superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah SWT.
Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari
penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun
mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan
langit.
Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama
seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia
dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam AS. Mereka semua
diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak
ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali
dengan taqwanya. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam
Al-Qur`an, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Sesungguhnya manusia itu diutamakan atas yang
lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan.
Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat
langkahnya meraih ridha-Nya. Allah SWT berfirman, ”Apabila
sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara
mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling
bertanya,” (QS Al-Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah SWT
menyebutkan bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat
adalah Al-Mizan yang tidak akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang
memilih para pemimpin dalam bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada
para pemimpin dengan syarat jangan melanggar batasan-batasan Allah SWT
dan hak-hak manusia.
Hanya Rasulullah SAW saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al-An’am [06]: 124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.
Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa
orang-orang yang mengaku berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan
atas dasar nash (Al-Qur`an/As-Sunnah), ternyata mereka itu tidak
menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia pada
umumnya (rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali
Ali bin Abi Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah.
Karena jika dilihat dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan
Ali tidak dikenal sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak
menjadi imam. Namun ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam
tokoh besar di bidang fiqih, seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far
Ash-Shadiq seperti imam-imam fiqih lainnya.
7. Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu
terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan
para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam
dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta
pertolongan kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para
peziarahnya dan supaya terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut
mereka bahwa para ahli kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan
bahaya, bisa membuat miskin dan kaya seseorang dan bisa membuat
seseorang senang maupun sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf Al-Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil
merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal
ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama
Syi’ah.
Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam
Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan
Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan
tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah
perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan
mereka (para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam
perilaku munkar yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada
sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang
awam ini! Akan tetapi perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh
orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para
ulama mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi Sejarah
Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para
sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah
alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah
SAW dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman
terjadinya futuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan
kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia
masuk Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu
pengetahuan, iman dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang
sangat gemilang. Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit kembali
dengan cara berkaca kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang
dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam
sebagai figur untuk mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.
Sedangkan sejarah orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan
kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis sebuah buku dengan
judul,
Sejarah Kita yang Diselewengkan. Buku ini mengupas
sejarah yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang
Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah
seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata,
”Yusuf Al-Qardhawi ini wakil Allah SWT atau wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq
adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam
berinteraksi (bermuamalah) dengan orang lain. Mereka selalu melakukan
Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di
dalam hati. Mereka itu mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama
dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang lainnya dihadapkan ke
kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai dua lidah.
Mereka berdalih dengan firman Allah SWT, ”Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan
orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak
akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri
dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]:
28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa
dibolehkannya Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang
muslim harus melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada
bahaya besar yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam
pengecualian, seperti firman Allah SWT, ”Barangsiapa kafir kepada
Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An-Nahl [16]: 106).
Pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan
di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat
darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan sesuatu yang
terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk orang
lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu
yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan tetapi Syi’ah Imamiyah menjadikan Taqiyyah ini
sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena para imam mereka
membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash-Shadiq bahwasanya dia telah
berkata
”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini,
”Allah
SWT telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka tidak
memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling jujur
dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.” [3]
Pendapat para ulama senior Al-Azhar tentang Syi’ah
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengatakan bahwa
semua penjelasan saya tentang Syi’ah ini bukan semata-mata pendapat
saya sendiri. Akan tetapi merupakan pendapat para ulama senior Al-Azhar
terhadap Syi’ah. Seperti Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan Mufti
Mesir), Syaikh Muhammad ‘Arfah (anggota Lembaga Ulama Senior dan mantan
ketua divisi Bimbingan dan Penerangan), Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq
(mantan Mufti Mesir dan Grand Syaikh Al-Azhar), Syaikh Athiyah Shaqer
(ketua Komisi Fatwa Al-Azhar), Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir (Wakil
Syaikh Al-Azhar dan mantan Menteri Waqaf Mesir).
Akan tetapi karena keterbatasan tempat, tidak
memungkinkan bagi saya untuk menyebutkan seluruh perkataan para ulama
senior tersebut yang berkompeten di dalam masalah ilmu dan memiliki
peranan di dalam melakukan perbaikan di dalam hidup mereka. Tidak pernah
ada tuduhan yang diarahkan kepada mereka, baik tuduhan fanatisme maupun
tuduhan konservatif (tertutup).
Syaikh Makhluf telah menyebutkan macam-macam Syi’ah.
Di antaranya: Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah yang berkeyakinan bahwa
Rasulullah SAW telah membuat wasiat bahwa Ali harus menjadi khalifah
setelah beliau wafat. Karena Ali adalah ahli waris beliau. Kelompok
Syi’ah ini berani mencela para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar.
Bahkan mereka juga berani mengafirkan para sahabat. Mereka juga
berkeyakinan bahwa imamah itu hanya terbatas kepada imam mereka yang
berjumlah dua belas orang yang mereka yakini kemaksumannya dan mereka
meyakini Imam Mahdi akan muncul ke dunia ini, dsb.
Syaikh Makhluf berkata, ”Ajaran Islam tidak
pernah mengajarkan keyakinan seperti ini, baik secara global maupun
secara terperinci. Tidak ada orang yang maksum selain para nabi dan
rasul. Juga tidak ada ajaran yang menyatakan bahwa imamah itu hanya
terbatas di Ahlul Bait atau hanya terbatas dua belas imam saja. Juga
Rasulullah SAW tidak pernah memberikan wasiat kepada Ali, baik dengan
nash yang terang maupun samar. Islam juga tidak mengenal istilah
Al-Mahdi yang ditunggu-tunggu yang diyakini oleh Syi’ah sedang
bersembunyi dan masih hidup di bumi sampai sekarang yang akan muncul di
akhir zaman. Juga tidak boleh mengkultuskan orang lain selain para
rasul. Juga tidak ada keterangan yang memerintahkan untuk pergi
berziarah ke Karbala dan Najaf, dan memuliakan kedua kota tersebut. Juga
tidak ada perintahnya untuk menjadikan hari Asyuro sebagai hari
berkabung. Justru yang ada adalah perintah untuk shaum di hari Asyuro.”
Inilah perkataan Syaikh Makhluf yang didukung oleh
perkataan para ulama senior yang lainnya. Hal ini seperti yang telah
dinukil oleh Dr. Muhammad Yusri di dalam bukunya yang berisi kumpulan
fatwa-fatwa ini dengan judul, Himpunan Fatwa Ulama Senior Al-Azhar tentang Syi’ah dan Sekte-sektenya.
Buku ini diedit oleh dua orang profesor Al-Azhar yaitu Muhammad
Al-Khasyu’i dan ‘Abdul Aziz Quraisyi. Buku ini adalah kumpulan fatwa
ilmiyah yang lengkap dengan kutipan dari referensi kitab-kitab Syi’ah
dan bukan dari kitab musuh-musuh Syi’ah. Pesan saya kepada saudara saya
sesama muslim jika Anda ingin mencari kebenaran, saya persilahkan untuk
membaca buku himpunan fatwa ulama tersebut.
Akan tetapi dari buku ini, saya hanya akan
mengutipkan perkataan Syaikh Dr. Abdul Mun’im An-Namir. Beliau adalah
seorang tokoh yang sudah terkenal akan keterbukaan beliau terhadap dunia
ini. Beliau telah banyak melakukan kunjungan ke berbagai negara Islam
di seluruh dunia. Beliau juga pernah menjadi perwakilan (utusan)
Al-Azhar di India. Di sana, beliau menulis buku tentang sejarah Islam di
India. Beliau juga merupakan Pimpinan Redaksi Majalah Al-Wa’ie
Al-Islami di Kuwait. Beliau juga mengeluarkan pandangan-pandangan dan
tulisan-tulisannya yang terbaru (up to date), sehingga beliau tidak pernah dituduh sebagai ulama jumud atau fanatik.
Pendapat Dr. Abdul Mun’im An-Namir, mantan Menteri Waqaf Mesir tentang Syi’ah
Beliau telah mencantumkan di dalam bukunya yang berjudul, Syi’ah dan Al-Mahdi yang berisi dialog beliau dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri, seorang ulama penyebar ide pendekatan antara Sunni dan Syi’ah.
Beliau berkata, ”Bismillaahir rahmaanir rahiim,
semoga selawat dan salam tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga dan
para sahabat beliau, amma ba’du: Saya telah menjadikan dialog
yang terjadi antara saya dengan Syaikh Muhammad Ali Taskhiri sebagai
muqaddimah cetakan keempat ini. Beliau adalah salah seorang ulama Iran
yang sering menjadi utusan Pemerintah Iran untuk menghadiri berbagai
macam muktamar (konferensi) dan seminar tentang Islam. Beliau adalah
ulama yang fasih dan luas ilmunya. Jika beliau berbicara dengan bahasa
Arab, seolah-olah beliau adalah orang Arab asli. Ternyata, sejak masih
muda, beliau telah bertalaqqi di beberapa kota suci Syi’ah di Irak.
Pertemuan ini terjadi di kota Moscat, ibukota
Kesultanan Oman. Tepatnya terjadi di areal Universitas Sultan Qobus yang
baru, luas dan megah yang terletak kurang lebih sekitar 40 km dari
ibukota Moscat. Di sana berlangsung Seminar Fiqih Islam yang disponsori
Pemerintah setempat dari tanggal 22-26 Sya’ban 1408 H atau bertepatan
dengan tanggal 9-13 April 1988 M. Seminar ini dihadiri banyak para
ulama senior, para ahli fiqih Islam dan tokoh pergerakan Islam, misalnya
Grand Syaikh Al-Azhar Jadul Haqq Ali Jadul Haqq (w.1996 M)
Di sana, ketika acara dimulai, saya bertemu dengan
Syaikh Muhammad Ali Taskhiri. Kami pun bersalaman dan
berbincang-bincang. Beliau mengingatkan saya bahwa pertemuan yang
pertama adalah terjadi di acara Forum Pemikiran yang diadakan di kota
Kosantin di Aljazair pada awal tahun 1980-an.
Di hari keduanya saat break seminar tersebut, kami keluar bersama beliau dan terjadilah dialog yang dimulai oleh beliau. Beliau berkata kepada saya, ”Anda
telah menzhalimi kami ketika Anda menuduh kami bahwa kami telah berkata
bahwa telah terjadi perubahan terhadap Al-Qur`an dan para sahabat yang
telah mengumpulkannya telah membuang (menghilangkan) beberapa surat atau
beberapa ayat, yaitu ayat tentang hak Ali sebagai pemimpim setelah
Rasulullah SAW wafat.”
Saya jawab pertanyaan beliau ini, “Ya, memang
saya telah menulis hal itu berdasarkan kepada kitab-kitab kalian. Saya
pun menyebutkan nama-nama kitab-kitab mereka tersebut, salah satunya
kitab Fashlul Khithaab fii Itsbaati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbaab.
Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah, Syaikh Husein An-Nuuri
Ath-Thabrasi pada abad ke-13 H. Kitab ini dicetak di Iran pada tahun
1298 H. Saya hanya menukil apa yang tercantum di dalam kitab ini.
Bagaimana mungkin saya dianggap telah menzhalimi kalian, karena semua
yang saya sebutkan di dalam masalah ini adalah bersumber dari
kitab-kitab kalian yang telah diakui oleh para ulama kalian. Dan kalian
pun memberikan penghormatan yang tinggi kepada penulis kitab ini pada
saat dia meninggal dunia pada tahun 1232 H. Beliau ini dikuburkan di
Najaf, sebuah tempat agung menurut orang-orang Syi’ah, di dekat kuburan
Imam Ali Al-Murtadha.”
Beliau berkata, ”Kitab ini tidak ada apa-apanya.
Saya sendiri meletakkan kitab ini di bawah kaki saya (beliau
menghentakkan kakinya ke tanah) sambil marah.”
Saya berkata kepada beliau, ”Mengapa kalian diam
saja pada saat kitab ini menceritakan tentang kalian jika memang
seperti itu? Mengapa pula kalian tidak mengumumkan jika kalian tidak
mengakui isi kitab tersebut? Dan mengapa kalian mendistribusikan kitab
ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga saya dan ulama yang lain pun tahu
bahwa kitab ini tidak mewakili ajaran madzhab kalian. Apakah ada sebuah
keterangan yang dirilis oleh pemimpin tertinggi Syi’ah pada saat ini
(Ayatullah Khumaini) bahwa isi kitab-kitab Syi’ah adalah tidak benar,
seperti kitab An-Nuur Ath-Thabrasi ini. Contoh lainnya tentang kebiasaan
mencela para sahabat yang telah mengumpulkan Al-Qur`an bahwa mereka itu
telah merubahnya. Sebaiknya seluruh tuduhan ini dihapus dari kitab
kalian itu pada saat akan dicetak ulang. Apakah kalian berat
melaksanakan ini semua?”
Kalian tidak melaksanakan satu dari tuntutan kami
ini. Karena saya tahu jika sebagian dari para ulama kalian telah
berlepas diri di dalam pengajian-pengajian mereka dari tuduhan bahwa
telah Al-Qur`an telah dirubah. Akan tetapi pendapat yang paling kuat
adalah pendapat yang telah menuduh bahwa para sahabat telah
merubah-rubah Al-Qur`an. Mengapa pula kalian tidak membuat pernyataan
untuk seluruh rakyat yang membaca kitab ini yang berisi penolakan kalian
atas tuduhan ini?
Beliau berkata kepada saya, ”Anda telah
membicarakan mengenai ucapan yang mengatakan bahwa kami mempunyai mushaf
Fathimah. Padahal kami tidak pernah mengatakan seperti ini.”
Saya pun berkata kepada beliau, ”Ya, rujukan
utama kalian telah mengatakan bahwa wahyu Allah SWT juga turun kepada
Fathimah setelah wafat orang tuanya (Rasulullah SAW). Adalah Ali RA
sebagai pencatat wahyu tersebut sampai terkumpul dan di kemudian hari
disebut dengan Mushaf Fathimah.”
Saya baru tahu akan masalah ini setelah saya
memperhatikan khutbah Imam Khumaini yang disiarkan oleh radio Teheran.
Beliau telah berkata di dalam khutbah tersebut yang mana khutbah
tersebut diadakan pada perkumpulan para wanita pembesar Iran pada acara
peringatan lahirnya Fathimah. Imam Khumaini berkata, ”Sesungguhnya
saya tidak kuasa untuk bercerita tentang Siti Fahimah. Akan tetapi
cukuplah dengan sebuah riwayat yang tercantum di dalam kitab Al-Kaafiy.”
Beliau pun menceritakan riwayat ini di depan para isteri pembesar Iran.
Kitab Al-Kaafiy yang ditulis oleh Imam
Al-Kulaini adalah kitab Syi’ah yang sepadan dengan Kitab Al-Bukhari di
kalangan Ahlu Sunnah. Hal ini lah yang memaksa saya pergi ke kota Najaf
untuk bertemu dengan salah seorang ulama besar Syi’ah. Di sana saya bisa
melihat-lihat isi kitab tersebut yang merupakan cetakan Iran yang
terdapat di perpustakaan pribadi miliknya.
Saya telah mencantumkan di dalam buku saya tentang
juz dan bab yang menerangkan tentang turunnya wahyu kepada Fathimah dan
mushafnya secara jelas. Apakah dengan ini saya dianggap telah melukai
dan menzhalimi kalian gara-gara saya melampirkan seluruh isi buku saya
dari sumber rujukan yang paling valid menurut kalian berikut teksnya?
Beliau berkata, ”Kitab-kitab itu adalah kitab murahan dan tidak valid!”
Saya bertanya kepada beliau, ”Tapi, mengapa
kalian mendistribusikan kitab ini (kitab Al-Kaafiy) ke seluruh penjuru
dunia, sampai ke Amerika. Bahkan kalian telah menerjemahkanya ke dalam
bahasa Inggris agar mudah dibaca oleh semua orang yang faham bahasa
Inggris di Barat dan di Timur! Saya sendiri mempunyai cetakan terbaru
yang sudah diterjemahkan. Apakah dengan ini semua bisa dikatakan jika
kitab Al-Kaafiy ini adalah kitab hebat menurut kalian? Sebab kalian
telah berupaya keras dan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk
mencetak dan menerjemahkannya sampai mencapai ratusan ribu eksemplar
untuk disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda
madzhab kalian. Apakah kalian merasakan hal ini?”
Beliau berkata, ”Di dalam kitab-kitab tafsir
kalian terdapat banyak kisah-kisah Israiliyat. Apakah hal ini bermakna
bahwa kalian (Ahlu Sunnah) juga mengakui keabsahannya?”
Saya jawab, ”Memang benar, di dalam
kitab-kitab tafsir kami banyak riwayat Israiliyat dan hadits-hadits yang
tidak shahih. Akan tetapi sebagian para ahli tafsir mengingatkan hal
ini dan mereka juga mengakui jika riwayat-riwayat tersebut adalah
riwayat dusta. Kami sekarang ini sedang memberantas riwayat-riwayat
Israiliyat tersebut. Kami sedang menulis beberapa kitab yang menjelaskan
hal tersebut dan memperingatkan orang yang membacanya agar jangan
mempercayai riwayat-riwayat dusta tersebut. Sebagian para ulama ada yang
berusaha untuk mengoreksi dan membuang riwayat-riwayat Israiliyat,
hadits-hadits palsu dan hadits-hadits yang tidak shahih. Dibandingkan
dengan kalian, kami lihat kalian terus memperbaharui cetakannya dan
kemudian kalian mengatakan jika kitab tersebut tidak ada apa-apanya?
Bahkan kalian juga menerjemahkannya dan mengirimkannya ke berbagai
negara! Mana yang dapat kami percayai? Apakah ucapan yang tidak memiliki
dalil apa pun ataukah kenyataan yang merupakan dalil yang sangat kuat?”
Di hari kedua dari pertemuan di pagi hari, ada
seorang dari saudara saya dari kalangan para ulama yang memberitahu saya
bahwa Syaikh Taskhiri terserang serangan jantung dan telah dibawa ke RS
Sulthan. Saya menyesal, mungkin saja saya yang menyebabkan serangan
jantung ini. Akhirnya, saya buru-buru pergi ke RS untuk melihat
kondisinya. Di RS, saya melihat beliau telah sadar dan sedang berbaring
di atas ranjangnya. Saya pun merasa tenang setelah saya tahu bahwa
penyebab ini semua adalah luka di usus dua belas jarinya yang semakin
parah. Beliau pun telah minum obat. Pada saat kami sedang
berbincang-bincang dengan beliau, datanglah Menteri Luar Negeri Iran,
yaitu Ali Akbar Wilayati menjenguk beliau. Pak Menteri bersalaman dengan
kami. Di RS saya duduk sebentar dan kemudian saya berpamitan agar
keduanya (Pak Menteri dan Syaikh) leluasa bercengkrama.
Pada hari kedua Dr. Muhammad Al-Ahmadiy Abu An-Nur
mengajak saya untuk menjenguk Syaikh di RS. Pada saat tiba di RS, kami
melihat kamar Syaikh telah kosong dari para penjenguk. Teman saya ini
mengajak saya untuk melanjutkan dialog. Saya berkata kepadanya, ”Sekarang
tema tentang tempat suci. Bagaimana yang kalian lakukan di dalam tempat
suci yang perbuatan tersebut tidak pernah diterima oleh kaum muslimin?”
Beliau menjawab, ”Sesungguhnya Imam Khumaini
membutuhkan sebuah fatwa syariah Islam dari para ulama Ahlu Sunnah. Dan
beliau pasti akan menyambutnya!”
Saya katakan kepada beliau, ”Apakah tema tentang
keamanan kota suci (Mekah) perlu fatwa, padahal sudah ada nash yang
jelas yang menguatkan akan keamanan kota suci. Misalnya firman Allah
SWT, ”Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia,” (QS Ali Imran
[03]: 97). Setelah Allah SWT memberikan rasa aman kepada seluruh makhluk
yang berada di tanah suci sampai kepada burung-burung dan pepohonan,
dan juga dilarang beradu pendapat (adu mulut) di areal tersebut, apakah
setelah ini semua kita memerlukan fatwa dari seseorang? Apakah usaha
mendatangkan orang-orang yang siap meledakkan dirinya bersama jemaah
haji Iran, kemudian mereka melakukan demontrasi meneriakkan yel-yel nama
Khumaini, mereka memblokir jalan-jalan dan mengganggu pengguna jalan.
Mereka bergerak menuju tanah suci yang pada saat itu sedang dipadati
oleh jemaah haji. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu orang yang
terlihat beringas. Hasil dari ini semua sudah bisa diketahui. Apakah
perilaku ini sesuai dengan jaminan keamanan yang Allah SWT minta dari
kita, yaitu kita harus menjaga keamanan kota suci (Mekah)?”
Wahai saudaraku… sengaja saya menyebutkan kejadian
ini kepadamu agar pengetahuanmu terhadap buku saya ini bertambah. Juga
agar kita semua tahu akan tabiat dan tingkah laku orang-orang yang kita
sering bermuamalah dengan mereka. Kami semua adalah kaum muslimin dari
kalangan bangsa Arab. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan petunjuk-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya!
Kitab Kasyful Asrar karya Imam Khumaini dan Tuduhannya terhadap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
Di depan saya ada kitab yang berisi dialog antara Ruhullah Khumaini
dengan penentangnya dari kalangan Ahlu Sunnah. Imam Syi’ah ini berdalil
bahwa keyakinan imamah adalah benar dan wajib diimani oleh setiap
muslim. Beliau melanjutkan dengan perkataannya di bawah ini:
”Keyakinan harus menolak Abu Bakar adalah perintah Al-Qur`an.
Beliau mulai berbicara dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur`an
tentang mewariskan tahta kekuasaan. Di antaranya, ”Dan Sulaiman telah
mewarisi Dawud,” (QS An-Naml [27]: 16), ”Dan sungguh, aku
khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang
mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu, yang akan
mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya‘qub; dan jadikanlah dia, ya
Tuhanku, seorang yang diridai,” (QS Maryam [19]: 5-6) dan
ayat-ayat lainnya. Dari sini beliau berdalih bahwa ajaran mereka adalah
benar bahwa Ali RA akan menerima warisan kekuasaan dari Rasulullah SAW.”
Kemudian beliau juga mengutip dalil-dalil bahwa Abu Bakar telah
melanggar nash Al-Qur`an, kemudian dia sesuaikan dengan hawa nafsunya
dan berupaya untuk menjauhkan Ahlul Bait dari pemerintahan. Abu Bakar
juga telah menzhalimi Ahlul Bait di dalam kehidupan ini ketika dia
membuat sebuah hadits yang berbunyi, ”Kami sekalian para nabi tidak mewariskan apa-apa. Yang kami tinggalkan hanya sedekah.”
Kemudian beliau di halaman 114 menjelaskan penyimpangan Umar bin
Khaththab dari Al-Qur`an. Ia (Khumaini) telah menyebutkan beberapa
kejadian lalu menafsirkannya sesuai dengan keinginannya. Misalnya
kejadian pada saat Rasulullah SAW menyuruh Umar agar menulis sebuah
surat dan lain-lainnya. Penulis juga mencantumkan ucapan Umar dalam
kisah ini. Setelah penulis mencantumkan sumber rujukannya, dia berkata, ”Kisah ini menguatkan bahwa kebohongan itu berasal dari Umar bin Khaththab sang penipu!”
Kemudian di paragraf berikutnya penulis mengatakan beberapa ucapan Umar bin Khaththab dalam masalah ini, ”Sesungguhnya ucapan-ucapan itu berdiri di atas dasar kebohongan dan berasal dari perbuatan kufur dan zindiq!” (hal. 116). Masih di halaman yang sama dari buku tersebut, penulis membuat sub judul, ”Kesimpulan Kami tentang Masalah Ini,” kemudian dia menulis di bawahnya, ”Dari
semua bahasan yang telah lalu, jelaslah bahwa penyimpangan Abu Bakar
dan Umar bin Khaththab terhadap Al-Qur`an menurut kaum muslimin bukan
masalah penting.” Penulis berdalil tentang masalah ini bahwa Abu
Bakar dan Umar bin Khaththab tidak pernah mau mendengarkan pendapat
orang lain. Keduanya juga tidak mau lengser dari jabatannya, juga Ahlu
Sunnah tidak siap untuk melengserkan keduanya, walaupun Umar bin
Khaththab berkata, ”Sesungguhnya Allah SWT, malaikat Jibril dan nabi telah salah menurunkan ayat ini.”
Hal ini sama sebagaimana kaum muslimin juga berusaha untuk mendukung
inovasi dan perubahan yang terjadi (disebabkan Umar) di dalam agama
Islam. (hal. 117).
Sampai seperti ini Imam Khumaini menulis tentang Abu Bakar dan Umar
bin Khaththab. Dia menuliskan semua ini pertama-tama untuk para
pengikutnya untuk menanamkan keyakinan seperti ini terhadap Abu Bakar
dan Umar bin Khaththab. Sudah jelas, keyakinan ini kita tolak dan kami
berlindung kepada Allah SWT dari orang yang mempercayainya. Oleh karena
itu, jangan heran apa yang dikutip dari ucapan Imam Khumaini dalam
karya-karyanya bahwasanya dia menyebut Abu Bakar dan Umar bin Khaththab
dengan sebutan
Al-Jibt dan
Thaghut. Dia juga menamai
keduanya dengan sebutan Dua Berhala Quraisy. Dia dan jemaahnya
berkeyakinan bahwa melaknat Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Aisyah dan
Hafshah akan mendatangkan pahala dari Allah SWT. Demikianlah, tuduhan
ini juga mereka alamatkan kepada Utsman bin Affan.
[4]
Jangan heran, inilah pendapat Imam Khumaini tentang Abu Bakar dan
Umar bin Khaththab dan para sahabat yang lainnya, sampai dia membuat
sebuah doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT secara berjamaah yang
dinamai dengan Doa Dua Berhala Quraisy. Mereka selalu membaca doa ini,
بسم الله الرحمن الرحيم، اللهم صل على محمد و آل
محمد..اللهم العن صنمي قريش و طاغوطيهما و إفكيها وابنيهما الذين خالفا
أمرك و أنكرا وحيك و جحدا إنعامك و عصيا رسولك و قلبا دينك و حرفا كتابك و
أحبا أعداءك و جحدا آلاءك و عطلا أحكامك و أبطلا فرائضك و ألحدا في آياتك و
عاديا أولياءك و واليا أعداءك و خربا بلادك و أفسدا عبادك، اللهم العنهما و
أتباعهما و أولياءهما و أشياعهما و محبيهما فقد خربا بيت النبوة و ردما
بابه و نقضا سقفه و ألحقا سماءه بأرضه و عالية بسافله و ظاهره بباطنه
واستأصلا أهله و أبادا أنصاره و قتلا أطفاله و أخليا منبره من وصيه و وارث
عمله، و جحدا إمامته و أشركا بربهما فعظم ذنبهما و خلدهما في سقر و ما
أدلراك ما سقر لا تبقي و لا تذر، اللهم اللهم العنهم بعدد كل منكر أتوه و
حق أخذوه و منبر علوه و منافق ولوه و ولي آذوه و طريد آووه و صادق طردوه و
كافر نصروه و إمام قهروه و فرض غيروه و أثر أنكروه و شر آثروه و دم أراقوه و
خير بدلوه و كفر نصبوه و كذب دلسوه و إرث غصبوه و فيء اقتطعوه و سحت أكلوه
و خمس استحلوه و باطل أسسوه و جور بسطوه.
“Dengan nama Allah yang Maha Penyayang, Maha Pemurah. Ya Allah,
semoga selawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad.. Ya Allah, kutuklah
dua orang Berhala Quraisy dan Thagutnya, juga kedua anaknya, yang
mereka berdua itu telah melanggar perintah-Mu, menolak wahyu-Mu,
mengingkari nikmat-Mu, bermaksiat kepada Rasul-Mu, merubah agama-Mu,
merubah wahyu-Mu, mencintai musuh-musuh-Mu, menolak karunia-Mu, mencabut
hukum-hukum-Mu, menolak perintah-perintah-Mu, melencengkan
ayat-ayat-Mu, memusuhi wali-wali-Mu, bersikap loyal kepada
musuh-musuh-Mu, menghancurkan negeri-Mu, menghancurkan hamba-hamba-Mu.
Wahai Allah, laknatlah keduanya dan juga para pengikutnya, para
pemimpinya, para pendukungnya dan para pecintanya. Keduanya telah
menghancurkan rumah kenabian, merobohkan pintunya, mencabut atapnya,
tanahnya dilekatkan ke atasnya, yang atas ke bawah dan yang bawah ke
atas. Mereka mengusir penghuninya, menganiaya para pendukungnya,
membunuh anak-anaknya dan membiarkan mimbar beliau kosong dari
pewarisnya (yaitu Ali), mereka menyangkal imamah Ali, keduanya telah
menyekutukan Rabbnya. Oleh karena itu, perbesarlah dosa mereka,
kekalkanlah mereka berdua di neraka Saqar. Tahukah kamu apa (neraka)
Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Wahai
Allah laknatlah mereka karena sejumlah kejahatan yang telah mereka
lakukan, hak yang telah mereka rampas, mimbar yang telah mereka hinakan,
munafik yang telah mereka dukung, menolong orang-orang yang
menyakitinya (Ali), dan orang jujur yang telah mereka usir, orang kafir
yang telah mereka bantu, imam yang telah mereka hinakan, hukum yang
telah mereka rubah, utang nyawa yang telah mereka tolak, kejahatan yang
telah mereka sebarkan, darah yang telah mereka tumpahkan, kebaikan yang
telah mereka rubah, dan kekufuran yang telah mereka dirikan, kedustaan
yang telah mereka lakukan, hak waris yang telah mereka rampas, harta
fa’i yang telah mereka potong, harta riba yang telah mereka makan, zakat
seperlima yang telah mereka halalkan, kebatilan yang telah mereka
dirikan dan keburukan yang telah mereka bentangkan.”
Tidak sampai di sini, mereka juga meneruskan doa ini dengan membaca,
اللهم العنهما بعدد كل آية حرفوها و فريضة تركوها و سنة
غيروها…اللهم العنهما في مكنون السر و ظاهر العلانية لعنا كبيرا…دائما
دائبا سرمدا لا انقطاع لأمده و لا نفاد لعدده لعنا يعود أوله و لا ينقطع
آخره…اللهم العنهم و محبيهم و مواليهم و المسلمين لهم و المائلين إليهم…و
الناهقين باحتجاجهم و المقتدين بكلامهم و المصدقين بأحكامهم. [قل أربع
مرات] : اللهم عذبهم عذابا يستغيث منه أهل النار…آمين يا رب العالمين.
“Wahai Allah, laknatlah mereka dengan seluruh ayat yang telah
mereka rubah, hukum yang telah mereka tinggalkan dan sunnah yang telah
mereka rubah…Wahai Allah, laknatlah mereka berdua di tempat tersembunyi
dan tempat terbuka dengan laknat yang besar…selama-lamanya,
terus-menerus yang tidak bisa terputus waktunya dan tidak akan habis
hitungannya dengan laknat yang akan berbalik laknat yang pertamanya dan
tidak akan terputus laknat yang terakhirnya…(terus bersambung). Wahai
Allah, laknatlah mereka dan juga para pecintanya, kaum muslimin dan
orang-orang yang pro kepada mereka…Juga orang-orang yang menyambung
lidah argumen mereka dan orang-orang yang meniru ucapan mereka,
orang-orang yang membenarkan hukum mereka.” (Ucapkanlah sebanyak 4X,
“Wahai Allah, adzablah mereka dengan adzab yang penduduk neraka saja
berlindung dari adzab tersebut…Aamiin wahai Rabb seluruh alam semesta).
Doa ini semua diarahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khaththab dan para sahabat yang mengikuti keduanya!
Saya berlindung kepada Allah dari kebencian seperti
ini. Doa apa yang mereka sisakan bagi orang-orang yang ingkar terhadap
Allah dan Rasul-Nya!? Wahai Allah yang Maha Menjaga! Mereka telah
bersikap tidak senonoh, sampai-sampai mereka berdoa kepada Allah SWT
dengan doa seperti ini!
Ketahuilah bahwa Ali telah menikahkan putrinya (Ummu
Kultsum binti Ali dari Fathimah, saudara perempuannya Al-Hasan dan
Al-Husein) kepada Umar bin Khaththab. Apakah Imam Ali menilai Umar
seperti yang mereka (orang-orang Syi’ah) nilai? Lantas mengapa justru
Ali menikahkan Umar bin Khaththab dengan putrinya?
Saya yakin jika pendapat Imam Khumaini terhadap kami yang sangat
menghormati Khulafaur Rasyidun dan para sahabat lainnya, pada saat ini
pendapatnya masih jelas, yaitu dia menganggap kita adalah orang-orang
kafir yang layak mendapatkan laknat dari Allah SWT!
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa kekuasaannya dia
ingin mengekspor revolusinya ke negara-negara Arab. Yang dia inginkan
bukan hanya revolusi dalam bidang hukum saja, akan tetapi ingin sesuai
dengan madzhabnya. Dia ingin menggiring kita dari kekufuran (Ahlus
Sunnah menurut dia) kepada Islam cara dia dan madzhabnya (Syi’ah)!
Kemudian kita semua berdoa bersama-sama melaknat dua berhala Quraisy:
Abu Bakar dan Umar bin Khaththab agar kita mendapatkan pahala dari Allah
SWT!
Inilah yang akan dipaksakan kepada kita, jika Iran menang dalam
perangnya melawan Irak. Kemudian dia dan pasukan tentaranya ingin
menguasai negara-negara Arab -semoga Allah SWT tidak mentaqdirkan hal
ini-. Insya Allah, akan ada penjelasan lengkapnya tentang topik ini.
Profesor Ahmad Amin telah menulis beberapa sifat khusus Imam Syi’ah yang beliau nukil dari kitab
Al-Kaafiy, karya Al-Kulaini yang merupakan kitab utama madzhab Syi’ah Imamiyah Itsna ’Asyariyyah.
[5] Beliau menyebutkannya sebagai berikut :
- Mereka berkeyakinan bahwa imam mereka menerima wahyu, meski cara pewahyuannya berbeda dengan nabi dan rasul.
- Barangsiapa yang tidak mempunyai imam, maka dia akan menjadi orang
sesat dan barangsiapa mati dalam keadaan tanpa imam, maka matinya dalam
keadaan kafir dan munafiq. Telah berkata Imam Ridha, ”Manusia itu adalah hamba sahaya kami dalam hal ketaatan.”
- Para imam adalah cahaya Allah, yang Allah SWT telah berfirman tentang mereka, ”Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya
(Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan,” (QS At-Taghabun [64]: 8). Mereka mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini bukan Al-Qur`an, tetapi
para imam Syi’ah.
- Para Imam Syi’ah adalah tiangnya bumi agar bumi tidak bergoyang.
- Para Imam adalah suci dari dosa-dosa, tidak mempunyai cela dan banyak ilmunya.
- Seluruh perbuatan umat manusia akan diperlihatkan kepada Nabi dan kepada para Imam Syi’ah.
- Para Imam Syi’ah adalah tempat berpijaknya Risalah Allah SWT; tempat
Allah SWT menyimpan rahasia-Nya di bumi dan titipan-Nya di antara
hamba-hamba-Nya.
- Para Imam memiliki seluruh kitab Allah SWT yang diturunkan kepada
para rasul dan mereka memahaminya dengan bahasa kitabnya masing-masing.
- Tidak ada yang bisa menguasai ilmu Al-Qur`an, kecuali para Imam Syi’ah. Yaitu dengan cara mendapatkan warisan dari Imam Ali RA.
- Para Imam mengetahui perkara yang telah lalu dan yang akan terjadi.
Tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sedikit pun. Sesungguhnya Allah
SWT tidak mengajarkan kepada Nabi-Nya sedikit pun ilmu, kecuali setelah
Allah SWT menyuruh Ali agar mengajarinya. Kemudian ilmu ini diwariskan
kepada seluruh Imam Syi’ah.
- Rasulullah SAW didampingi oleh sebuah ruh yang sangat besar melebihi
malaikat Jibril dan Mikail. Ruh ini sekarang menemani para Imam Syi’ah.
- Para malaikat akan memasuki rumah para Imam Syi’ah. Para malaikat
akan menginjakkan kakinya di karpet para imam dan mereka memberitahukan
sesuatu kepada para Imam.
- Bumi ini semuanya adalah untuk para Imam. Dan Ahlul Bait adalah
orang-orang yang akan mewarisi bumi ini. Hal ini sebagaimana firman
Allah SWT, “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah
(tertulis) di dalam Adz-Dzikir (Lauh Mahafuzh), bahwa bumi ini akan
diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh,” (QS Al-Anbiya [21]: 105). Adapun yang dimaksud dengan hamba-hamba-Ku yang saleh adalah para Imam Syi’ah.
Inilah ajaran yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
di dalam kitab-kitab mereka. Kecuali Syi’ah Ismailiyyah mempunyai
perbedaan sedikit dengan Syi’ah Imamiyah. Akan tetapi, bisa saja di
dalam ajaran Syi’ah Ismailiyyah ada ajaran-ajaran yang lebih jauh
penyimpangannya, sehingga diakui oleh ajaran Syi’ah Imamiyah Itsna
‘Asyariyah.
Sumber: Buku berbahasa Arab, karya Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dengan judul Fataawaa Mu’aasharah, (Fatwa-fatwa Kontemporer), juz ke-4, penerbit Darul Qalam Kuwait, hal. 275-298.
Penerjemah: Dudung Ramdani, Lc -Staf LPPI Jakarta-
[1] Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri!
[2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An-Nafis.
[3] Lihat kitab
Al-Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz-Dzahabi hal. 68.
[4] Lihat kitab
Kasyful Asraar hal. 107. Juga lihat kitab
Syahadat Khumaini fii Ashaabi Rasuulillaah karya Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah, mantan khatib Masjidil Aqsha yang dicetak oleh Penerbit Daar Ummar Yordania.
[5] Silahkan merujuk ke kitab
Dhuha Islam (Cahaya Islam), hal. 3 cetakan pertama.
Sumber : http://arrisalah-institute.blogspot.com/2012/03/fatwa-kontemporer-syaikh-yusuf-al.html