”Pak kyai, I am so sorry. I wanto to ask you”, lagak seorang mahasiswa fakultas teosofi jurusan adu mulut (?) saat pulang kampung. Baru satu tahun setengah dia kuliah di Jakarta.
”What do you asking about?”, kyai kampung kesambet jin muslim asal Inggris.
“He he he he pak kyai gaul juga”, mahasiswa teosofi surprise.
”Yaaaah, litel litel mah ai ken laah”, kyai sedikit agak lebay.
”Pak kyai, ane mau ngajak diskusi soal wudhu nih. Bisa kan?”, mahasiswa teosofi kelihatan lebih serius.
”Yes, of course”, lidah kyai kampung tiba-tiba lancer lagi Inggrisnya. “Why not?”
”Wudhu kita kan batal kalo kentut. Terus wudhu lagi. Kenapa ya, padahal yang kentut kan pantat, mengapa yang dibasuh muka dan yang lain-lain. Mengapa bukan pantat?”, mahasiswa teosofi membuka topik diskusi. Kyai kampung agak kurang bergairah. Berdasar pengalamnnya yang sudah-sudah, ngelayanin diskusi model begini, ujung-ujungnya adalah akal-akalan.
”Yaa kalo sampeyan mau basuh pantat sampeyan yang kentut, ya basuh saja, asalkan dilakukan sebelum wudhu”, kyai menjawab normatif saja.
”Sorry pak kyai, bukan itu maksudnya. Secara logika saya belum bisa memahami. Mengapa pantat yang kentut, tapi muka yang dibasuh? Engga masuk akal”, benar dugaan kyai, hanya akal-akalan.
”Ya karena tidak ada perintah membasuh pantat dalam wudhu, yang ada wajah. Soal wudhu bukan soal masuk akal atau tidak. Tapi soal ta’abbudi”, kyai masih setia melayani lewat jalur mormatif saja.
”Waah susah juga nih”, mahasiswa teosofi keluh-kesah. Dikiranya kyai tidak mengerti isis kepalanya.
”Maksud sampeyan apa sih?”, kyai pura-pura.
”Maksud saya mengapa harus wudhu lagi, mengapa bukan pantatnya saja yang dicuci? Gitu loh”, mahasiswa teosofi menganggap kyai benar-benar tidak mengerti.
”Loh, itu masuk akal, tahu”, kyai mulai meladeni dengan akal-akalan pula.
”Loh, yang masuk akal itu, kalau pantatnya yang dicuci, bukan muka dan yang lain”, mahasiswa teosofi sangat percaya pada logikanya.
”Loh, kok sampeyan ngotot”, kyai pura-pura terpojok.
”Loh, kyai juga kenapa ngotot”, mahasiswa teosofi balik menyerang kyai. Mukanya tegang. Urat lehernya kelihatan menonjol. Lagaknya seperti pendekar debat ala anggota dewan yang seneng adu mulut. Adu mulut melulu, rakyat kaga dipikirin.
”Saya ngotot karena sampeyan ngotot. Padahal dengan membasuh muka dengan sebab pantat yang kentut, itu sangat masuk akal”, kyai mengulang lagi jawabannya.
”Masuk akal bagaimana?”, mahasiswa teosofi nantang.
”Apa perlu saya buktikan?”, kyai nantang juga.
”Harus”, mahasiswa teosofi menjawab tegas. Tangannya ngepal layaknya sedang mimpin demo.
”Dengerin ya, jika satu saat ada orang tengah menjamu tamu-tamu istimewa di ruang tamu rumahnya, tiba-tia dia kentut. Menurut sampeyan, orang itu malu tidak?”, kyai kampung mulai beraksi.
”Ah, itu mah, semua orang juga pasti malu”, mahasiswa teosofi menjewab enteng. Seolah-olah sedang menghadapi calon mahasiswa yang sedang diplonco seniornya.
”Lah kalo orang itu sampeyan sendiri, sampeyan malu tidak?”, kyai mulai di atas angin.
”Ya malu lah”, mahasiswa teosofi masih menjawab enteng dan lebih mantap.
“Nah, yang malu muka sampeyan, apa pantat sampeyan?”, kyai melempar jurus pamungkas yang menohok, tapi sambil nyengir. Alisnya digerak-gerakan turun naik. Sebelah matanya merem, sebelahnya lagi melek agak melotot. Persis kaya Jaja Miharja lagi teriak, ”Apa an tuh!”.
”?$#@&^”, mahasiswa teosofi gagap.
”Masa ... yang malu muka, yang dicuci pantat. Masuk akal kan? Cuci sana muka sampeyan”, kyai ngeloyor pulang. Langkahnya tegap seperti Paskibraka di istana Merdeka. Ayunan tangannya yang lurus sebahu membuat besek di tangannya berayun seperti gerakan Kora-Kora di Dufan.
Xixixixi ... diem-diem, kyai mules terpingkal-pingkal. Baru kali ini dia bicara persoalan pantat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar