”Pak kyai, saya ingin ngajak diskusi tentang Tuhan. Bersediakah?”, seorang mahasiswa jurusan Perbandingan Keyakinan membuka dialog.
”Tidak”, kyai nampak kurang berkenan.
”Mengapa?”, mahasiswa tingkat akhir itu seolah menekan kyai atas keengganan kyai melayani tantangannya.
”Tuhan bukan untuk didiskusikan. Tapi didengar dan dipatuhi aturan-Nya”, kyai memberi alasan normatif.
”Tapi, jika dari hasil diskusi nanti malah membuat orang jadi taat, bagaimana?”, sang mahasiswa memberi umpan. Memancing-mancing kyai.
”Apakah sampeyan bisa menjamin begitu?”, kyai sedikit memberi ruang gerak seolah benar-benar terpancing.
”Tidak juga”, sang mahasiswa jujur. Meskipun dia merasa sebagai orang yang kritis, tapi soal keyakinan ia tidak berani memberi jaminan seperti opsi yang disodorkan kyai.
”Kalau begitu, sebaiknya jangan pernah mendiskusikan Tuhan. Sampeyan dan saya, tidak akan pernah mendapat kebaikan apapun. Mendiskusikan ciptaan Tuhan saja, umur sampeyan engga akan cukup, apalagi mendiskusikan Sang Pencipta. Yang ada sampeyan malah terjebak pada kekufuran”, kyai menasehati. Khas kyai.
”He he he ... biasa. Pola pikir kyai memang seperti itu, kolot”, sang mahasiswa mulai berani meniup bara, berharap emosi kyai menyala.
”Kyai dianggap kolot itu biasa, yang sadis seperti temen sampeyan yang menyebut kyai atau ulama dengan cemoohan ”tolol”. Biasa aja tuh", kyai tahu dia tengah diprovokasi anak masih bau kencur.
”Apakah kyai tidak menangkap kesan, bahwa dalam al-Qur’an begitu banyak ayat yang mengajak kita memahami tentang Tuhan?”, kali ini, jurus mahasiswa yang suka membanding-bandingkan agama-agama itu semakin menusuk jantung sensitifitas kyai. Beharap kyai itu bisa diajak berkelahi dengan nalar kritis. Begitu niatnya.
”Nah, kalau al-Qur’an sudah membimbing sampeyan untuk memahami Tuhan, mengapa harus lagi didiskusikan pada saya? Apakah al-Qur’an belum cukup jelas untuk sampeyan?”, kyai masih setia dengan kesabarannya.
”Bukan begitu kyai, al-Qur’an sendiri seringkali mengusik kita dengan ungkapan “afalaa ta’qiluun, afalaa tatafakkaruun, afalaa yatadabbaruun. Ini kan merangsang setiap kita untuk jengan pernah berhenti berfikir. Karena kalau kita memilih berhenti berfikir, sama dengan berhenti hidup, alias mati. Secara pribadi saya tidak mau disebut sebagai orang mati yang bernafas ”, walah, makin gesit, makin berbahaya serangannya dan makin berusaha memojokkkan kyai.
”Waaah, sampeyan mulai lepas kendali, nih. Saya ingatkan, jangan terlalu asyik dengan keberanian logika, apalagi menyangkut Tuhan. Tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali ketidakpuasan”, kyai masih menyimpan sisa-sisa kesabaran.
”Inilah bedanya kita dengan orang Barat. Orang Barat punya kebebasan berpikir dan memikirkan apa saja dibanding kita. Maka mereka lebih maju dari kita. Tidak ada kata tabu, meskipun akal mereka mendiskusikan Tuhan”, canggih. Keihatannya mahasiswa ini memang sudah menyiapakan banyak amunisi.
”Lah sampeyan orang mana?”, kyai mulia berdamai dengan keadaan. Kayaknya, kyai akan terpaksa melayani mahasiswa itu tetapi masih wait and see.
”Saya orang Timur, muslim yang ingin belajar kepada Barat, supaya saya tercerahkan”, sombongnya dibuka sendiri. Mahasiswa ini seolah ingin menunjukkan bahwa tradisi berfikir kritis harus ditiru dari Barat.
”Apa sampeyan mau jadi seperti Harvey Cox yang berani menyimpulkan bahwa Tuhan telah mati?”, agaknya, kyai mulai serius.
”Tapi saya tidak sekejam itu. Bagi saya, Tuhan Maha Hidup dan tidak mati. Hanya saja, pikiran saya selalu terganggu dengan pertanyaan, kalau orang beragama beriman kepada Tuhan, terus apa dong agama Tuhan?”, mahasiswa ini rupanya telah termakan dengan daya kritisnya sendiri. Dia tidak sadar telah diperbudak oleh akalnya dan ikut-ikutan membenturkan antara agama dan eksistensi Tuhan. Sebuah sikap arogan yang ditunjukkan karena merasa akal dapat memecahkan setiap persoalan, termasuk masalah Tuhan.
”Kalo sampeyan yakin Tuhan tidak mati, untuk apa sampeyan cape-cape memecahkan misteri apa agama Tuhan? Sampe kiamat, sampeyan kaga bakalan bener”, kyai masih wait and see. Masih menggunakan senjata mahasiswa yang dilempar kepadanya.
”Loh, mengapa begitu?, nah loh, ada sedikit celah yang terbuka.
”Sampeyan rupanya mengabaikani hakikat agama. Agama itu dibutuhkan bukan sebatas jalan manusia saat hidup, tetapi nasehat sampai manusia mati, dibangkitkan dan akhirnya menuju surga atau neraka. Hanya agama yang sanggup menjelaskan dan menuntun manusia harus bagaimana saat dia hidup dan bagaimana akhirnya ketika dia mati. Makanya menjadi aneh, Tuhan yang sampeyan yakini tidak akan mati, lalu dicari-cari agamanya apa. Kalau Tuhan membutuhkan agama, itu artinya Tuhan membutuhkan petunjuk, kalau sesuatu butuh ditunjuki, bukan Tuhan namanya. Apa sampeyan engga ada pekerjaan laen selain ngorek-ngorek soal ini?”, kyai sedikit esmosi. Tapi esmosi kyai tidak sambil mencak-mencak kaya si Pitung ngelawan tentara bayaran kompeni.
”Loh, itu namanya kritis”, sang mahasiswa berkelit.
”Bukan, itu namanya krisis. Sampeyan sedang mengalam krisis kepercayaan. Sampeyan diganggu oleh akal sampeyan, makanya sampeyan seperti orang yang kehilangan Tuhan dalam iman sampeyan”, kata-kata kyai makin filosofis.
”Ah, kyai mengada-ada. Kyai hanya menghindar dari tema sentral diskusi ini”, sang mahasiswa tidak mau kalah. Ia mencoba menyinggung harga diri kyai.
”Apa sampeyan tetep ngotot, ingin memecahkan persoalan yang sampeyan ciptakan sendiri?”, kyai melempar kebingungan untuk mahasiswa ini.
”Bukan semata-mata saya ciptakan kyai, tetapi merespon ajaran Qur’an untuk selalu berpikir kritis. Agar kita tidak terjebak pada taqlid tanpa mengetahui kebenaran dan dasar pembuktiannya”, wah, terkesan, mahasiswa ini mampu mematahkan semua nasehat kyai, cerdas dan ahli memainkan kata-kata memukau.
”Wah wa wah, sampeyan gagah sekali. Seandainya sampeyan sudah tahu Tuhan itu agamanya apa, terus sampeyan mau bagaimana?”, kyai rupanya sudah tidak sabar. Biarlah keluh hatinya, orang sombong kudu disombongin lagi.
”Saya akan tinggalkan agama saya dan ikut agama Tuhan saja”, mahasiswa ini ngomong tanpa jeda. Mantap.
”Astaghfirullah, bahlul ente! Coba saya liat KTP sampeyan, jangan-jangan sampeyan cuma ngaku Islam doang. Jangan-jangan sampeyan penyusup”, kyai sudah tidak punya cara lain selian membungkam segera mahasiswa ini.
”He he he he he ... engga usah risau kyai. Ini KTP saya. Lihat …, Islamkan?”, mahasiswa merasa telah berhasil mengerjai kyai. Disosdorkannya KTP miliknya sambil menggerak-gerakkan alisnya naik turun cepat sekali.
“Ooo Islam beneran toh sampeyan. Ya sudah kalo begitu”, kyai menunjukkan seolah dia kalah, padahal pukulan telak telah disiapkan kyai.
“Ya sudah bagaimana maksud kyai”.
“Loh, sampeyan kan ingin tahu Tuhan agamanya apa?”, kyai menutup perseteruan.
“Iya”, mahasiswa seperti orang linglung.
“Ya lihat saja "KTP"-Nya!”, kyai ngeloyor pergi. Dalam hati, kyai minta ampun beristighfar sebanyak-banyaknya. Kyai merasa dunia semakin diisi oleh orang sinting. Semoga dirinya tidak ikut-ikutan sinting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar